“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
TAK ada satu agama pun di dunia yang ajaran pertamanya berupa kewajiban “membaca” kecuali (Al-‘Alaq: 1). Allah mengulangi lagi perintah membaca pada ayat ke-3 dalam surat yang sama .
Menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi, seorang ahli tafsir yang terkenal dengan tafsir Al-Maraghinya, pengulangan perintah itu menunjukkan bahwa aktivitas membaca memerlukan kontinuitas, sehingga membentuk “kebiasaan yang tertanam kuat di dalam jiwa”.
Hanya dengan cara itu budaya baca bisa diwujudkan. Penafsiran demikian didasarkan pada firman Allah: “Kami akan membacakan terus-menerus agar kamu tidak lupa.”(Al-A’la: 6).
Menurut Syaqawi Dhofir dalam tulisannya pada kolom Hikmah Republika mengatakan, “Sejarah intelektualitas membuktikan bahwa rata-rata intelektual dan cendekiawan besar memiliki budaya baca sejak masih kecil di lingkungan rumah tangga mereka.
Hal tersebut memberikan isyarat bahwa budaya baca harus dimulai dari lingkungan keluarga, sebagai unit sosial yang paling awal dan paling kecil”. ungkapnya.
Syarqawi mengungkapkan lagi, “Kalau PBB pernah mencanangkan Long Life Education, pendidikan seumur hidup, pada tahun tujuh puluhan, maka Rasulullah, jauh sebelum itu telah menyadarinya.
Dalam haditsnya yang paling populer yang maknanya, Beliau menganjurkan baik laki-laki maupun wanita secara merata menuntut ilmu sejak buaian hingga ke liang lahat. Namun sayang, mengapa prakarsa seperti yang dicanangkan PBB itu tidak datang dari kita? ungkap Syarqawi.
Ada tuntunan Qurani tentang bagaimana seharusnya kita membaca. Setiap kali memulai pekerjaan apapun, Islam selalu menganjurkan untuk memulainya dengan menyebut nama Allah.
Khususnya kegiatan membaca dianjurkan untuk selalu di mulai dengan “Nama Allah yang Mencipta” (Al-‘Alaq: 1).
Ini menunjukkan bahwa kegiatan membaca hendaknya selalu dibarengi dengan kesadaran terhadap proses kejadian dan penciptaan.
Pemahaman terhadap proses kejadian dan penciptaan inilah yang sebenarnya menjadi sasaran pokok kegiatan membaca yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas sains dan teknologi. Menurut istilah teknis ilmiah modern, membaca semacam itu disebut “membaca kreatif.”
Puncak dari membaca kreatif itu adalah diperolehnya kesadaran terhadap asal kejadian manusia dan eksistensinya sebagai hamba Allah (Al-‘Alaq: 2).” sambung Syarqawi.
Membaca demikian sudah jarang kita temui dalam khazanah intelektual modern. Tak heran bila aktivitas membaca akhirnya justru membuahkan kecongkakan intelektual yang semakin menjauhkan manusia dari Tuhannya. (Na’udzubillah!).
Adapun menurut sudut pandang, Dr. Aidh Al-Qarni dalam buku best sellernya Cahaya Zaman, bahwa “Aktivitas membaca bisa menambah ilmu, wawasan, dan memperluas cakrawala pemikiran.
Karenanya setiap orang yang mau membaca karya-karya orang lain dan keilmuan mereka, maka pengetahuan dan wawasannya akan semakin bertambah luas dan akal pikirannya bisa berkembang, terutama jika yang dibaca adalah hal-hal yang bermanfaat.
Lanjut Al-Qarni mengatakan, “Sungguh kasihan sekali orang yang tidak mau membaca dan belajar, karena dia tidak mendapatkan sesuatu hal yang baru, di dalam hidupnya dia tidak memiliki sesuatu yang istimewa.
Orang yang selalu mau belajar dan membaca, maka dia akan mendapatkan hal-hal baru, bernilai dan bermanfaat, yang akan selalu membuatnya gembira, bahagia, dapat memaknai dalam arti hidup yang sesungguhnya.” urainya Al-Qarni.
“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9).
Carilah ilmu, bertanyalah kepada para ulama, telaah lah buku, agar kita bisa mendapakan kehidupan yang bahagia dan mulia, agar umur kita diberkahi.
Ahli Hikmah pun berkata, ” Seluruh bangsa dan kerajaan yang pernah ada musnah, pasar-pasar mati, istana-istana runtuh, rumah-rumah rusak, harta kekayaan musnah, akan tetapi hikmah masih tetap bertahan hidup di dalam buku-buku dan ilmu masih utuh di dalam karangan-karangan tulisan”.
Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dirham dan dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang dapat memilikinya, maka berarti dia telah mendapatkan bagian yang melimpah”. dikutip dari buku Cahaya Pencerahan, Mei 2006 M.
Secara keseluruhan dapat kita lihat bahwa budaya membaca dikalangan generasi muda masih rendah. Dan ini perlu dan wajib ditingkatkan. Sudah saatnya dari sekarang ada kesadaran generasi muda untuk mengubah kebiasaannya agar mau akrab dengan buku-buku yang dapat memberikan wawasan. Karena dengan membaca, akan menjadikan kita sebagai manusia yang mempunyai wawasan dan akan jauh dari kebodohan dan ketertinggalan.
Jika kita jauh dari kebodohan dan ketertinggalan, tentunya akan jauh dari kemiskinan, maka kesejahteraan bangsa indonesia akan lebih baik lagi di masa depannya.
Buku adalah jendela dunia, istilah yang sudah sering kita dengar. Kita sebagai masyarakat Indonesia khususnya anak muda harus bisa menumbuhkan minat membaca dan menciptakan budaya membaca.
Akhirnya dari uraian ini, bahwa dengan membaca kita tidak hanya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas, namun juga bisa berpikir secara kritis.
Walahu a’lam bish shawab.
Aswan Nasution
• Penulis Alumni 79′ Al Qismul ‘Aly Al Washliyah, Isma’iliyah, Medan, Sumatera Utara.
• Pengurus Wilayah Al Washliyah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Masa Bakti 2019-2024.