PERHELATAN pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia telah berlangsung tanggal 27 November ini. Daerah-daerah tingkat 1 dan 2 di seluruh Indonesia telah memilih para pemimpinnya.
Pilkada serentak 2024 ini secara umum berlangsung aman dan dari sisi keamanan bisa dianggap kondusif. Beberapa kasus memang muncul di masa kampanye — misalnya konflik antar pendukung pasangan calon — namun secara relatif bisa terselesaikan dengan baik. Lalu apakah yang masih terasa mengganjal? Jika ada pertanyaan tersebut maka mau tak mau kita bicara tentang sejauh apa netralitas Polri di dalam pilkada?
Di dalam beberapa waktu terakhir ini muncul istilah atau sebutan terhadap kepolisian, yaitu sinyalemen tentang adanya “polisi merah-putih” dan “partai coklat”. Kedua sinyalemen tersebut pada dasarnya bertolak belakang satu sama lain. “Polisi merah-putih” mengarah kepada para anggota kepolisian yang masih menjunjung tinggi netralitas, berdiri di atas semua pihak yang sedang berkompetisi di dalam pilkada. Pijakan satu-satunya adalah kesetiaan terhadap merah-putih.
Sementara itu “partai cokelat” mengarah kepada dugaan adanya sikap tidak netral dari beberapa anggota kepolisian, yang bahkan secara diam-diam atau terang-terangan mendukung paslon tertentu. Dugaan ini muncul setelah adanya tindakan atau gerakan oknum anggota kepolisian yang terindikasi ke arah itu. Media banyak mengangkat hal itu, termasuk juga para netizen di media sosial.
Sebagaimana kepada TNI, maka kepada Polri pun sesungguhnya masyarakat sangat berharap ada sikap netral di setiap perhelatan pemilihan, baik itu pemilihan umum mau pun Pilkada. Sebab memang begitulah seharusnya kepolisian bersikap. Memang sulit kita berharap setiap orang membuang jauh-jauh sikap pragmatisme di dalam setiap terselenggaranya pesta demokrasi. Sikap pragmatisme itu seringkali menggiurkan, karena berhubungan dengan kekuasaan atau pun uang. Pada beberapa sisi hal itu dianggap wajar, namun adalah sangat tidak wajar jika sikap pragmatis itu dilakukan oleh anggota TNI dan Polri. Ada sesuatu yang sangat dilanggar, yaitu netralitas itu sendiri.
Kita percaya bahwa benar adanya “partai cokelat” itu, namun “partai” itu hanya berisi sebahagian kecil saja dari anggota kepolisian. Bukan dalam konteks kepolisian sebagai institusi. Sebab kepentingan institusi kepolisian secara umum adalah “merah putih”; kepentingan bangsa dan negara, bukan partisan.
Lalu apakah yang paling pokok yang harus dilakukan oleh Polri seusai pilkada 2024 ini. Hanya satu: penegasan kembali posisi Polri di dalam masyarakat. Penegasan dimaksud adalah mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat bahwa Polri tetaplah merah putih, sejak lahirnya hingga saat ini dan kelak di masa depan. Tetap berpegang Teguh pada Tri Brata, Catur Prasetya dan Kode etik profesi Polri. Pemerintahan boleh berganti, kekuasaan boleh berpindah, namun pijakan Polri tetap teguh di ranah netralitas dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Polri harus berusaha keras menegakkan prinsip itu, sejak dari mulai “kepala” hingga “ekor”.
KBP (P) ADV. Dr.M.Zarkasih S.H.,M.H.,M.Si
Advokat
Sako Pramuka Al Washliyah.