DKI Jakarta

pbwashliyah@gmail.com

IndonesianArabicThaiEnglishChinese (Simplified)

Maktab Islamiyah Tapanuli Medan Tempat Berdirinya Al Washliyah

SEJAK penghujung abad ke-19, Deli menjadi daerah yang maju disebabkan panen tembakau dan karet yang mendatangkan banyak keuntungan. Pemerintah kolonial Belanda sebagai pengelola perkebunan banyak mendirikan gedung-gedung perkantoran dan berbagai fasilitas umum di Kota Medan. Begitu juga dengan sultan sebagai penguasa pribumi juga memindahkan pusat kekuasaannya ke kota ini pada awal abad ke-20.

Kemajuan tersebut mengakibatkan banyaknya penduduk dari berbagai daerah yang merantau ke Deli, termasuk dari Tapanuli. Sebagai pendatang, masyarakat Tapanuli pada umumnya menjadikan sektor swasta sebagai sumber penghidupan mereka. Meski demikian, ada juga beberapa yang menjadi pembantu sultan sebagai pegawai kerajaan.
Kedatangan masyarakat Tapanuli, khususnya dari Tapanuli Selatan terus bertambah jumlahnya.

Sebelum tinggal di kota Medan, di antara mereka ada yang telah merantau ke beberapa kota. Termasuk Syekh Muhammad Ya’qub pernah menetap beberapa tahun di Tanjung Balai. Selain itu, mereka juga telah mengenal pendidikan Islam di daerah asalnya dan telah melihat kemajuan pendidikan Islam tersebut di kota lainnya.

Langkat yang letaknya berbatasan dengan kerajaan Deli merupakan salah satu kerajaan yang telah memiliki lembaga pendidikan Islam yang maju. Di awal abad ke-20, Langkat telah memiliki dua madrasah, yaitu Madrasah Maslurah dan Madrasah Aziziyah. Lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan dan sangat populer ketika itu. Murid-murid yang belajar berasal dari berbagai daerah, termasuk Tapanuli Selatan.

Melihat keadaan kota Medan yang belum memiliki lembaga pendidikan Islam yang berdiri sendiri, maka masyarakat Tapanuli Selatan berinisiatif untuk mendirikannya. Untuk memenuhi maksud tersebut mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan dari masyarakat Tapanuli Selatan saja, tapi mereka juga merangkul tokoh masyarakat suku Melayu dan Cina. Datuk Muhammad Ali mewakafkan sebidang tanah dan Chong A Fie memberikan bantuan mobiler maktab. Datuk Muhammad Ali yang mewakafkan tanah menetapkan tiga orang sebagai nazir, yaitu Haji Ibrahim Presiden/Ketua Syarikat Islam Tapanuli Medan, Syekh Muhammad Ya’qub, dan Haji Ibrahim Penghulu Pekan di Medan.

Kehadiran Maktab Islamiyah Tapanuli mendapat sambutan baik dari masyarakat. Muridnya terus bertambah tidak hanya berasal dari kota Medan, tapi juga banyak yang berasal dari kota lainnya. Yang belajar juga tidak hanya masyarakat suku Mandailing, tapi maktab ini terbuka untuk seluruh umat Islam.

Para alumni yang telah menyelesaikan pendidikan di maktab ini, banyak pula yang mendirikan maktab baru di tempat lainnya. Boleh dikatakan MIT menjadi pioner lembaga pendidikan Islam di kota Medan.

Pada tahun 1928 beberapa orang murid MIT melihat kehidupan beragama di kota Medan ‘kurang sehat’. Sering terjadi pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Melihat keadaan tersebut mereka mendiskusikan penyebab konflik dan solusi yang bisa diajukan. Dua tahun mereka melakukan diskusi mingguan, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Dari pertemuan-pertemuan diskusi tersebut, lahirlah gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi yang bisa menjembatani kedua paham
tersebut.

Pada tanggal 30 Nopember 1930, mereka mengumpulkan pelajar-pelajar maktab dan ulama yang ada di Kota Medan dan sekitarnya. Dari pertemuan tersebut lahirlah kesepakatan mendirikan organisasi yang diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah. Nama tersebut diberikan oleh kepala Maktab Islamiyah Tapanuli, Syekh Muhammad Yunus.

Sejak masuknya Jepang pada tahun 1942, MIT tidak lagi melaksanakan proses pendidikan. Murid-muridnya ketika itu banyak yang pulang ke kampung halaman, karena kondisi keamanan di Kota Medan yang terganggu. Setelah kemerdekaan Indonesia nazir MIT berupaya untuk mengaktifkan kembali Gedung MIT sebagai tempat belajar, namun usaha tersebut tidak berhasil. Melihat keadaan itu, maka sejak tahun 1947 gedung MIT dipinjamkan kepada Al Jam’iyatul Washliyah. Kemudian, sejak tahun 2019, selain sebagai tempat belajar, gedung MIT juga dijadikan sebagai Museum Al Washliyah. Nashrun minallâh wafathun qarîb, wa basysyiril mu’minîn.

Dr. Muaz Tanjung, M.A.

(Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan).

*Artikel ini disampaikan pada acara Awsat Forum yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah, Jumat, 12 November 2021.

lihat lebih banyak lagi

Bulan Ramadan, Muslimat Al Washliyah – Kowani Berbagi Dengan Perempuan Ojol

JAKARTA - Pimpinan Pusat Muslimat Al Washliyah bersama dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) berbagi kasih dengan 100 orang perempuan, yang tergabung dalam Komunitas Perempuan...

Muslimat Washliyah Sultra Bagi Takjil dan Bantuan di TPA Ulumul Qur’an Alolama Kendari

KENDARI-Ketua umum Pimpinan Wilayah Muslimat Al Washliyah Sulawesi Tenggara (Sultra), Rosmiati, S. Ag bersama pengurus lainnya menyerahkan bantuan alat pengajian dan juga berbagi takjil...

Washliyah Sulut Bantu Pengurus Masjid dan Warga Terdampak Banjir di Manado

MANADO - Al Jam'iyatul Wshliyah (Al Washliyah) melalui Al Washliyah Zakat, Infaq dan Sedekah (Alzis) Pusat bekerja sama dengan PW Wilayah Al Washliyah Sulawesi...

Malam Munajat Lailatul Qadr di Bekasi, Rektor Unisma: Kolaborasi yang Indah

MALAM Munajat Lailatul Qadr Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah (PB Al Washliyah) dengan Rektorat Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi pada malam 21 Ramadan 1446...