KAMUS POLITIK memperkenalkan istilah “test the water”. Dalam Cambridge Dictionary, testing the water adalah idiom yang artinya “to find out what people`s opinions of something are before you ask them to do something”. Terjemahan bebasnya kira-kira adalah “mengukur pendapat dari orang atau kelompok tertentu mengenai sesuatu sebelum orang atau kelompok tertentu itu disuruh melakukan sesuatu”. Gaya inilah yang diterapkan oleh rezim Orde Baru untuk menekan lawan-lawan politiknya.
Al Washliyah sebagaimana ormas Islam lainnya juga menghadapi tekanan rezim Orde Baru dalam penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal (Astung). Fase tekanan ini sudah dirasakan sejak 1970-an dengan penerapan P4 bagi PNS dan masyarakat umum, dan pelajaran PMP di sekolah yang mendapat respons “sedikit “ keras oleh ulama kharismatik Al Washliyah, Tuan H.M. Arsjad Thalib Lubis, dengan mengatakan “umat Islam telah melaksanakan ajaran Pancasila ratusan yang lalu” (Bulletin Al Quswa: 1970). Reaksi yang keras malah difragmentasikan oleh Ketua Dewan Penasihat PPP sekaligus Rais Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) yang memfatwakan wajib hukumnya memilih PPP sebagai satu-satunya partai Islam. Walk out-nya PPP pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4 (Sudirman Teba, 1993: 31) memperpanas relasi umat Islam dan negara, dan sebagaimana yang dikonstatir R. William Liddle, memperjelas bahwa kelompok Islam benar berpotensi sebagai “musuh eksternal yang signifikan” (Donald K. Emerson, 2001: 74).
Di bawah kepemimpinan H. Bahrum Jamil, S.H. (1973-1978 dan 1978-1986), Al Washliyah menata kembali organisasinya dan iklim politik pada saat itu antara resiprokal dan akomodatif. Resiprokal adalah sikap Orde Baru yang saling memberi angin dan tidak bersebelahan dengan Islam. Sedangkan akomodatif adalah sikap Orde Baru yang semakin baik dan mesra dengan umat Islam (Kuntowijoyo, 1997: 198; Heri Kusmanto dan Warjio, 2018: 144-145). Di pertengahan 1980-an, serangan terhadap partai politik untuk penerimaan Astung makin keras dengan dihadapkan dengan UU No. 5 Tahun 1985 tentang partai politik, dan untuk ormas dengan UU No. 8 Tahun 1985. Ormas Islam pertama yang menerima asas tunggal Pancasila adalah NU sebagaimana keputusan organisasi ini pada Munas NU tahun 1982, dan dideklarasikan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang pada awalnya NU sangat kritis terhadap Orde Baru. Kemudian, menyusul Muhammadiyah menerima Astung pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 (Sudirman Tebba, 1993: 11). Sedangkan Al Washliyah menerima belakangan. Tentang asas tunggal Pancasila untuk ormas, H. Bahrum Jamil, S.H. mengatakan “sebagai sebuah organisasi bangsa Indonesia, maka bagi Al Washliyah tidaklah akan mengalami suatu kesulitan untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan UU keormasan yang telah disahkan itu, Insya Allah” (Harian Mimbar Umum, 14 Agustus 1985).
H. Hasbullah Hadi, salah seorang tokoh Al Washliyah, mengatakan betapa susahnya mengurus izin Muktamar Al Washliyah ke-XVI dimana Ustaz Syahren Pohan sebagai Ketua Panitia dan beliau sebagai Sekretaris sampai harus hilir mudik ke Jakarta dan meminta “fatwa” kepada H. Yunan Helmi Nasution. Berkat kepiawaian H. Aziddin yang dekat dengan pihak militer dan pemerintah Orde Baru, akhirnya izin Muktamar Al Washliyah ke-XVI dikeluarkan pemerintah, dan beliaulah yang kemudian menjadi Ketua Panitia. Secara umum, reaksi kalangan Islam mengenai pemberlakuan asas tunggal Pancasila ada tiga macam: (1) menerima secara total tanpa kritik, (2) menerima karena terpaksa sambil menanti keluarnya UU keormasan, dan (3) menolak sama sekali. Golongan yang pertama adalah PPP, NU, Perti, dan disusul organisasi Islam yang lebih kecil, seperti Dewan Masjid Indonesia.
Golongan yang kedua antara lain Muhamadiyah dan HMI. Sedangkan yang ketiga adalah Pelajar Islam Indonesia (PII) serta tokoh Islam seperti Deliar Noer, Syafruddin Prawiranegara, Yusuf Abdullah Puar, serta para mubaligh yang secara terbuka melalui acara pengajian menyatakan ketidaksetujuannya terhadap asas tunggal, dan pendaftaran kembali ormas-ormas yang harus sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1985 dan diberi batas terakhir tanggal 17 Juli 1987. Ormas yang tidak menerima asas tunggal tidak akan didaftarkan dengan konsekuensi dibubarkan (Abdul Aziz Thaba, 1999: 265-266).
Muktamar Al Washliyah ke-XVI yang diadakan pada tanggal 20-24 Februari 1986 di Jakarta akhirnya dibuka secara resmi oleh Menteri Agama Republik Indonesia saat itu, Munawir Sjadzali, dengan keputusan penting, yakni menerima Pancasila sebagai asas tunggal, dan memilih H.M. Ridwan Ibrahim Lubis dan Aziddin, B.A. masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah. Pemerintah Orde Baru menyambut baik penerimaan Pancasila sebagai asas, seperti yang dikatakan Menteri Sekretaris Negara saat itu, Sudharmono, S.H., “Al Washliyah setelah asas tunggal Pancasila sebagai asas memperjelas statusnya dan hubungan dengan pihak pemerintah bertambah lancar” (Majalah Obor Umat, 1988: 5).
Berdasarkan optik Abdul Aziz Thaba di atas, Al Washliyah susah dikelompokkan kepada salah satu kelompok tersebut di atas. Karena, Al Washliyah tidak menerima secara total, tetapi juga tidak menerima secara terpaksa apalagi menolak sama sekali. Walaupun demikian, kalau menganalisis pendapat Ustaz H.Harun Amin pada tahun 1997, ketika penulis bertanya tentang alasan penerimaan Al Washliyah terhadap Astung, ia mengatakan: “tidak ada jalan lain bagi Al Washliyah, kalau tidak menerima Pancasila, maka semua madrasah, perguruan dan panti asuhan juga akan ikut dibubarkan, satu pilihan yang tak mudah tetapi harus diambil”.
Menelisik penyataan ini, dapat ditafsirkan bahwa, Al Washliyah dapat dimasukkan kepada kelompok kedua. Penerimaan astung oleh ormas Islam ini mendapat kritik pedas dari pengamat dengan mengatakan “berlomba-lomba menyatakan diri tidak Islam.”
Memang sungguh tidak mudah menafsirkan kalimat dalam Anggaran Dasar Al Washliyah, yakni: “aqidah Islam dan asas Pancasila”, tidaklah mudah memberi batasan yang jelas antara wilayah agama dengan Pancasila. (Sudirman Tebba,1993: 14). Tidak ada yang salah dalam pilihan ini, karena kalau memakai tafsir pragmatis dan idealis dengan bentuk menerima total, menerima karena terpaksa, atau menolak total adalah sama beratnya, akan tetapi harus diambil dan menanggung risikonya tanpa menyalahkan siapa-siapa. Karena seperti kata M.Natsir “berhakim pada sejarah.” Nah, ketika bandul masa berputar 23 tahun kemudian, dan semangat reformasi muncul, Astung juga tinggal kenangan dan menjadi ampas sejarah. Al Washliyah juga menghirup udara baru, kembali mencantumkan Islam sebagai asas organisasi sebagaimana juga dilakukan oleh ormas Islam lainnya. Nashrun minallâh wafathun qarîb, wa basysyiril mu’minîn.
Dr. Ismed Batubara, S.H., M.H.
- Wakil Ketua Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Periode 2021-2026.
- Dosen Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah