DKI Jakarta

pbwashliyah@gmail.com

IndonesianArabicThaiEnglishChinese (Simplified)

Islamisme: Sebuah Pencarian Identitas Politik

REVOLUSI Islam di Iran di bawah kendali Ayatollah Khomeini adalah tanda awal populernya istilah “Islam politik” dan pembentukan pemerintahan Islam pertama abad ke-20. Revolusi agama tersebut seakan menciptakan kosa kata baru untuk menamai kekhasan fenomena baru ini. Ragam term baru pasca-revolusi banyak dimunculkan untuk menggambarkan era baru perkembangan sejarah Islam. Sebagai contoh term yang sering digunakan adalah fundamentalisme Islam, Islam radikal, revivalisme Islam, dan Islam politik. Term-term tersebut cukup banyak mewarnai kajian tentang dinamika studi Islam.

Fenomena kebangkitan gerakan Islam di Iran pun juga menjalar hingga Indonesia pascareformasi. Gerakan Islam di Indonesia yang cukup masif memang tidak terduga sebelumnya, mengingat semenjak 1970-an pengarusutamaan Islam moderat begitu kokoh di masa Orde Baru. Saat Indonesia yang diwarnai Islam kultural, Islam inklusif, dan Islam moderat tiba-tiba mendapatkan pesaing dari Islam radikal dan Islam politik pasca-runtuhnya Orde baru. Warna pergeseran pemikiran ini yang tidak diperhatikan oleh para pengamat sebagai kebangkitan Islam radikal dan Islam militan.

Bagi John L. Esposito, pergeseran pemikiran dan gerakan ini dianggap wajar karena sekian lama pemerintah Indonesia seakan melakukan anomali dengan memasung potensi berpolitik secara bebas melalui fusi 1973. Selain itu, pengarusutamaan asas tunggal Pancasila oleh Orde Baru cukup menstimulasi bangkitnya ormas-ormas Islamis dan radikal. Gerakan Islam pasca-Orde Baru ini berimplikasi pada perubahan iklim politik di Indonesia. Islam menjadi faktor penting dalam eskalasi politik nasional, di mana pada perkembangannya gerakan Islam ini memiliki kekuatan signifikan untuk menekan rezim agar kebijakan pemerintah dapat menampung aspirasi politik Muslim.


R. William Liddle menamai potret pemikiran Islam politik ini dengan Islam skripturalis. Bagi Liddle, pasca-Orde Baru ideologi syariatisasi ala Muslim skripturalis ini mendapati momentumnya karena beberapa faktor, di antaranya: (1) ajaran penerapan syariatnya sangat sederhana, sehingga mudah diterima oleh khalayak umum masyarakat Muslim, (2) terbuka kemungkinan aliansi politik antara kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh; (3) gairah kuat para politisi untuk membangun basis massa.

Muhammad Sa‘īd al-Ashmāwī—ahli hukum dan tata negara dari Mesir—menyebut mereka dengan istilah yang sama, Islam politik atau al-Islām al-Siyāsī atau political Islam. Beberapa akademisi kemudian menamai kelompok ini dengan sebutan Islamisme. Mehdi Mozaffari mendefinisikan Islamisme sebagai sebuah ideologi religius dengan interpretasi holistik terhadap Islam dengan tujuan menaklukkan dunia dengan segala cara. Setidaknya, definisi ini memuat empat elemen penting yang saling terkait, antara lain: ideologi religius, penafsiran holistik Islam, penaklukan dunia, dan penggunaan segala cara untuk mencari tujuan akhir.

Hannah Arendt, misalnya, menyebut Islamisme sebagai totalitas ideologi Islam, totalitarianisme. Islamisme tidak sepakat dengan Islam inklusif dan liberal, karena—sebagai agama—Islam sudah mencakup segala hal duniawi dan ukhrawi. Sebagai -isme, totalitarianisme ini membedakan antara totalitarianisme sebagai ideologi, sebagai gerakan, dan sebagai aturan politik. Senada dengan Bassam Tibi yang mengkaji Islamisme dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Hannah di atas, dalam hal ini penulis juga akan melakukan hal serupa untuk mengulas potret Islamisme kiai muda di Pamekasan Madura.

Olivier Roy—islamolog Prancis—sebelumnya secara ekstensif menggunakan term Islam politik dan fundamentalis Islam untuk menyebut kelompok Muslim ideologis ini, tetapi belakangan ia cenderung lebih sering menggunakan Islamisme. Dalam terminologi Roy, antara Islam politik dan Islamisme tidak sama. Jika yang pertama menunjuk pada sebuah proyek Muslim abad modern yang gagal, maka—bagi Roy—Islamisme adalah “fenomena baru” aktivitas Muslim abad kontemporer.

Bassam Tibi mengilustrasikan Islamisme sebagai totalisasi ideologi agama politik yang didasarkan pada upaya menghidupkan tatanan hukum Islam pada kehidupan Muslim. Ia menandaskan bahwa Islamisme itu terkait tatanan politik, bukan iman. Meski demikian Islamisme bukanlah politik an sich, tetapi politik yang diagamaisasikan (religionized politics). Agamaisasi politik ini adalah membawa agama kembali ke ranah publik, namun dalam bentuk baru dan dengan kapasitas baru untuk mempengaruhi wacana publik dan perilaku politik. Fenomena global Islamisme inilah contoh paling kuat dari fundamentalisme religius.

Aziz al-Azmeh dalam buku Islams and Modernities menamai gerakan Islamisme kontemporer dengan Islamisme politik. Ia tidak menyebutnya sebagai, misalnya, fundamentalisme Islam. William Shepard menggunakan istilah totalisme Islam untuk mengilustrasikan kecenderungan ideologis yang memandang Islam tidak sekadar agama dalam pengertian sempit yang hanya memfokuskan pada kepercayaan teologis dan ritual, tetapi juga Islam adalah cara hidup total dengan bimbingan untuk dimensi ekonomi, politik, dan perilaku sosial.

Hal ini berbentuk klaim bahwa umat Islam harus memiliki negara Islam; sebuah negara di mana semua hukum didasarkan pada syariah. Tampaknya, ulasan Shepard ini cukup tepat menggambarkan term Islamisme. Akan tetapi kita akan sulit memahami mengapa Shepard mengonstruksi pemaknaan berbeda antara “totalisme Islam” (Islamic totalism) dan Islamisme yang menurutnya adalah sebuah kecenderungan memandang Islam sebagai sebuah ideologi. Sayangnya, ia tidak mengeksplorasi lebih jauh alasan perbedaan antara dua istilah “totalisme Islam” dan Islamisme.

Sejumlah penulis Arab menyebut term Islamisme dengan Islāmīyah. Sedangkan untuk menyebut pelaku Islamis mereka menyebutnya Islāmīyūn atau Islamis. Di antara pemikir Muslim yang mengulas tentang term tersebut adalah Hasan al-Turābī (l. 1932), Sudan. Saat al-Turābī membahas fraksi yang berbeda di kalangan umat Islam dalam bukunya al-Islām wa al-Hukm (Islam dan Pemerintahan), ia menggunakan term Islāmiyyūn untuk menunjuk pada kelompok Islam politik yang mempunyai jargon Islam adalah solusi, Islam adalah agama dan pemerintahan, dan Islam adalah konstitusi dan hukum. Hasan Hanafī menyebut kelompok Islam politik tersebut dengan al-Usūlīyah al-Islāmīyah (fundamentalisme Islam).

Pemikir perempuan dari Tunisia Salwā al-Sharafī menyebut kelompok Islam politik ini dengan Islāmīyūn terutama yang tertuang dalam buku al-Islamiyyūn wal-Dīmuqrātīyah (Islamisme dan Demokrasi). Analisis holistik tentang Islamisme juga dapat ditemukan dalam buku The Search for Arab Democracy yang ditulis Larbi Sadiki, di mana ia menyajikan analisis kritis terhadap diskursus dan wacana dari para Islamis. Walaupun buku tersebut tidak secara spesifik berbicara tentang Islamisme, namun ulasan tentang penerima dan penolak demokrasi—sebagai isu utama—di negara-negara Arab sudah memperlihatkan secara kuat ideologi kelompok Islamisme, penolak ide demokrasi. Sama seperti para penulis Barat, Sadiki tidak memberikan definisi yang jelas mengenai term Islamisme dan Islamis.

Sejumlah penulis Arab juga menyebut kelompok-kelompok Islam politik ini dengan islāmīyūn, di antaranya Saverine Labat dalam buku terjemahan dari Bahasa Perancis ke Bahasa Arab dengan judul al-Islāmīyūn al-Jazāirīyūn bayn Sanādīq al-Intikhāb wa al-Idghāl Ahmad Jabrūn yang menulis tentang “al-Islāmīyūn fī Tūr Tahawwul: min al-Dīmuqrātīyah al-Adātīyah ilā al-Dīmuqrātīyah al-Falsafīyah: Halat Hizb al-‘Adālah wa al-Tanmīyah al-Maghribīyah” (Transformasi Kaum Islamis: Dari Demokrasi Fisik Menuju Demokrasi Filosofis: Kasus Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko). Jabrūn membahas tentang ragam bentuk dan problematika teoretis dan empiris bagi kalangan Islam politik—atau yang disebut Islāmīyūn—di Maroko.

Dr. Mukhammad Zamzami

Dalam buku yang tersebut terakhir, al-Islāmīyūn wa Nizām al-Hukm al-Dīmuqrātīyah: Ittijāhāt wa Tajārub [Para Islamis dan Sistem Pemerintahan Demokratis: Ragam Tren dan Pengalaman], beberapa pemikir memberikan kontribusi pemikirannya terkait kiprah Islam politik atau Islāmīyūn di berbagai negara, seperti artikel Kamāl ‘Abd al-Latīf tentang “Fikr al-Nahdah wa al-Thawrāt al-‘Arabīyah” [Nalar Pembaruan dan Beberapa Revolusi Arab], Marwah Fikrī dalam “Su‘ūd Islāmī am Fashl ‘Almānī: Muhāwalah li Fahm Natāij al-Intikhābāt al-Misrīyah” [Keberhasilan Islamisme atau Kegagalan Sekularisme: Memahami Hasil Pemilu Mesir], dan lain-lain.

Islamisme jelas menolak segala jenis produk ideologi modern seperti sekularisme, individualisme, toleransi, demokrasi, kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Islamisme adalah ekspresi dari budaya defensif yang kemudian menjadi kekuatan yang memobilisasi dalam bentuk internasionalisme revolusioner aktivis. Pandangan-dunia Islamisme adalah mempolitisasikan umat ini untuk mempromosikan persepsi akan “Muslim” kolektif melawan segenap umat manusia. Identitas politik jenis ini akan menyulut konflik di semua tingkatan, baik secara lokal, regional, maupun global. Penggunaan agama sebagai penanda identitas oleh Islamisme dikaitkan dengan anggapan bahwa hanya ada satu Islam yang monolitik. Anggapan ini akan bermasalah bagi seluruh dunia. Politik identitas islamis ini jelas berfungsi sebagai polarisasi, bukan menjembatani.


Islamisme adalah sebuah tatanan politik, bukan iman. Meski demikian Islamisme bukanlah semata politik, tetapi politik yang diagamaisasikan. Islamisme adalah contoh paling kuat dari fenomena global fundamentalisme religius. Dalam perkara Islamisme, agamaisasi politik berarti promosi tatanan politik yang dipercaya beremanasi dari kehendak Allah dan bukan berdasarkan kedaulatan rakyat. Bagi Bassam Tibi, Islam memang menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun tidak mensyaratkan suatu tata pemerintahan khusus. Islamisme tumbuh dari interpretasi spesifik atas Islam, namun itu bukanlah Islam: itu merupakan ideologi politik yang berbeda dari ajaran agama Islam.

Islamisme dan Upaya Politisasi Agama di Indonesia: Belajar dari Aliansi Ulama Madura

Dalam sejarah keislaman, perkembangan pemikiran Islam senantiasa dihadapkan pada aksi tarik-menarik dua kutub keislaman yang berbeda, antara kelompok Islam berbasis tradisionalisme dan kelompok Islam berbasis modernisme, antara Islam normatif dan Islam dinamis. Mereka yang menyebut diri sebagai kaum tradisionalis percaya, bahwa diskursus mengenai Islam—baik dalam lingkup teoretis maupun praktis—telah selesai pada masa kehadiran ilmuan dan pemikir keislaman terdahulu (baca: al-salaf al-sālih). Kewajiban dan tugas kaum Muslim saat ini adalah mengamini, mematuhi, dan menjalankannya. Secara umum, kelompok ini mempunyai pandangan keagamaan yang bias tekstual, statis, normatif, dan mengedepankan pembacaan literalis.

Berbanding terbalik dari Islam tradisionalisme, yaitu Islam modernisme. Tipologi keislaman ini merujuk pada tradisi keislaman yang mengedepankan semangat pembaruan, reformis dan sangat dinamis. Secara umum, gerakan pemikiran Islam modernis memiliki ciri khas keislaman yang menekankan pembacaan kritis, progresif dan rasional. Mereka senantiasa mendudukkan teks-teks secara rasional agar perannya sebagai sumber pokok kehidupan benar-benar teraktualisasikan. Dalam banyak kesempatan, semangat pembaruan Islam Modernis seringkali menuai perdebatan, bahkan kecurigaan, khusunya dari kelompok Islam tradisionalis. Kecurigaan tersebut dilatari adanya kekhawatiran, jika paham keislaman yang dibawa oleh kelompok modernis itu menyimpang dari ajaran pokok al-Qur’ān dan ajaran Rasulullah. Dalam konteks keislaman global, corak keislaman ini mulai tumbuh intens pada awal abad ke-20 M, yakni pasca-munculnya gerakan pembaruan Islam di beberapa negara mayoritas berpenduduk Islam, salah satunya Indonesia.

Di Indonesia sendiri, tipologi keislaman tradisionalis dan modernis seringkali disematkan pada dua organisasi kenamaan, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dalam kaitan ini, Nahdhatul Ulama (NU) diidentifikasi sebagai representasi gerakan Islam fundamentalis-tradisionalis, sedangkan Muhammadiyah selaku kelompok Islam fundamentalis-modernis. Penyematan tradisionalis-modernis terhadap keduanya sangat beralasan. Selain faktor corak dan khas yang mewakili kehadiran masing-masing kubu, pun juga karena kedudukan keduanya sebagai oraganisasi keagamaan Islam berpengaruh, mempunyai jumlah pengikut yang begitu besar. Dalam konteks keberislaman di Indonesia, Muhammadiyah identik dengan semangat keagamaan modernis yang bertumpu pada gagasan rasional. Secara geografis mayoritas pengikutnya lebih dominan berpusat di daerah-daerah perkotaan dan daerah kosmopolitan.

Sebaliknya, NU adalah representasi kelompok keagamaan tradisional yang berakar kuat pada tradisi dan peran sentral kiai/ulama sebagai agensi ritual dan tradisi keagamaan Islam. Sebagai kelompok tradisional, karakteristik pengikut NU mayoritas tersebar luas di lingkungan pedesaan.


Namun demikian, seiring berkembangnya pemikiran dan gerakan Islam kontemporer, muncul realitas baru yang menunjukkan adanya pergeseran. Dalam tubuh NU, misalnya, sekalipun secara tipologis NU kental dengan corak keislaman tradisional, namun dalam perkembangan saat ini penyebutan NU sebagai representasi Islam tradisionalis sudah tidak sepenuhnya relevan, karena dalam banyak kesempatan sudah banyak pemikir dan tokoh besar NU yang dari segi pemikiran dan gagasannya sudah progresif dan modern. Bahkan, beberapa tokoh sentral NU—sebut saja Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur—menjadi salah satu ikon NU yang pemikirannya tidak saja dikenal modern, namun melampaui dari itu, yakni liberal.

Dalam perkembangan berikutnya, gejala pergeseran tradisi pemikiran dalam tubuh keislaman tradisionalis mengundang perdebatan hebat. Tuduhan dan kecurigaan bahwa golongan Islam tradisionalis telah tercerabut dari habitat aslinya tak dapat terhindarkan. Mereka yang secara pemikiran masih berpegang teguh pada nilai normatif-tekstual menilai, bahwa NU—sebagai ikon keislaman tradisional—saat ini telah mengalami komodifikasi lantaran tertular ajaran dan paham keislaman di luar dirinya, seperti Islam liberal dan paham ajaran kelompok Shī‘ah.

Hingga saat ini perdebatan tentangnya masih tetap bergulir deras di ruang diskursus keagamaan. Bahkan, dalam upaya mengembalikan keislaman tradisional pada wujud dan corak yang asal, lahir kemudian banyak ideologi dan paham keislaman baru yang memuat visi purifikasi Islam, seperti kemunculan organisasi keislaman tradisional Aliansi Ulama Madura (AUMA) dan Forum Kiai Muda (FKM) di Kabupaten Pamekasan Madura Jawa Timur.

Secara genealogis, kemunculan dua gerakan keislaman ini terpantik oleh keinginan dan cita-cita menghadirkan corak kesilaman tradisionalis di tanah Madura yang betul-betul murni dan sesuai dengan semangat khittah ke-NU-an, yakni sebuah wajah keislaman yang terlepas dari ajaran kelompok SYIBILIP (Shî‘ah, Wahabi, Liberal, dan Penista Agama). Dalam banyak kesempatan, kelompok keislaman ini seringkali mengidentifikasi gerakan mereka sebagai kelompok keislaman NU rasa garis lurus. Secara filosofis, istilah ini memuat makna antitesis terhadap realitas kekinian Islam tradisional, yang dalam pandangan mereka telah membelok dari jalur sebenarnya. Berkenaan dengan studi ini, maka kajian tentang fenomena kemunculan gerakan islamisme AUMA dan FKM di Kabupaten Pamekasan Madura memiliki kepentingan untuk mengungkap dan mendeskripsikan secara komprehensif perihal perkembangan dan dialektika pemikiran Islam di Pulau Madura, khususnya menyangkut peran dan fungsi stretegis keduanya dalam mengawal dan mempenagaruhi diskursus dan pemikiran keislaman di daerah setempat.

Dr. Mukhammad Zamzami
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Mehdi Mozaffari, “What is Islamism? History and Definition of a Concept”, Totalitarian Movements and Political Religions, Vol. 8, No. 1 (Maret 2007), 18. Bandingkan dengan ulasan Fred Halliday, “Review Article: the Politics of Islam—a Second Look”, British Journal of Political Science, Vol. 25, No. 3 (1995), 399-417.
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Taraju, 2002), 5.
John L. Esposito, “Pendahuluan”, dalam John L. Esposito, Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, terj. A. Rahmani Zainuddin (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 3-4.
Islam skripturalis adalah kelompok Islam yang cenderung berorientasi pada syariat. Mereka perlu menerapkan dalam kehidupan mereka segala hal yang termaktub dalam al-Qur’ān dan Hadīth. Lihat R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi (Bandung: Mizan, 1999), 304.
Ibid. Kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia Muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis. Di berbagai belahan dunia, masyarakat berbondong-bondong menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema signifikan di abad kontemporer. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), 11.
Mozaffari, “What is Islamism?”, 17–33.
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt Inc, 1951). Bandingkan dengan Hannah Arendt, “The Totalitarianism of Jihadist Islamism”, Totalitarian Movement and Political Religion, Vol. 8, No. 1 (March 2007), 25-54.
Arendt, The Origins.
Olivier Roy, Globalised Islam: The Search for a New Ummah (London: Hurst and Company, 2002).
Bassam Tibi, Islamism and Islam (London: Yale University Press, 2012), 1
Bassam Tibi, Islam in Global Politics: Conflict and Cross-Civilizational Bridging (New York: Routledge, 2012).
Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (Berkeley: University of California Press, 2002).
Aziz al-Azmeh, Islams and Modernities (London: Verso, 1993).
William E. Shepard, “Islam and Ideology: Towards a Typology”, International Journal of Middle East, Vol. 19, No. 3 (1987), 307-308.
Hasan al-Turābī, aI-Islām wal-Hukm (London: Dār al-Sāqī, 2003), 49.
Hasan Hanafī, Muqaddimah fī ‘Ilm al-Istighrāb (Kairo: al-Dār al-Fannīyah li al-Nashr, 1991).
Salwī al-Sharfī, al-Islāmiyyūn wal-Dimuqrātīyah (Tunis: Manshurāt Alāmāt, 2001).
Larbi Sadiki, The Search for Arab Democracy (New York: Columbia University Press, 2004).
Buku ini mengulas kontestasi di Aljazair pasca-1980-an yang terjadi antara dua kelompok, kelompok Islam politik dan kelompok pendukung sistem teokrasi untuk memperjuangkan revolusi di Aljazair. Saverine Labat, al-Islāmīyūn al-Jazāirīyūn bayn Sanādīq al-Intikhāb wa al-Idghāl, terj. Hamādah Ibrāhīm (Kairo: al-Majlis al-A‘lā li al-Thaqāfah, 2003), 5.
Ahmad Jabrūn, “al-Islāmīyūn fī Tūr Tahawwul: min al-Dīmuqrātīyah al-Adātīyah ilā al-Dīmuqrātīyah al-Falsafīyah: Halat Hizb al-‘Adālah wa al-Tanmīyah al-Maghrabīyah”, dalam Ahmad Jabrūn (ed.), dkk, al-Islāmīyūn wa Nizām al-Hukm al-Dīmuqrātīyah: Ittijāhāt wa Tajārub (Beirut: al-Markaz al-‘Arabī li al-Abhāth wa Dirāsāt al-Siyāsah, 2013), 7.
Kamāl ‘Abd al-Latīf, “Fikr al-Nahdah wa al-Thawrāt al-‘Arabīyah”, dalam Jabrūn (ed.), dkk, al-Islāmīyūn wa Nizām al-Hukm al-Dīmuqrātīyah, 27-46.
Marwah Fikrī, “Su‘ūd Islāmī am Fashl ‘Almānī: Muhāwalah li Fahm Natāij al-Intikhābāt al-Misrīyah”, dalam Jabrūn (ed.), dkk, al-Islāmīyūn wa Nizām al-Hukm al-Dīmuqrātīyah, 77-124.
Lihat ulasan lebih detil dalam ibid.
Halliday, “Review Article: the Politics of Islam”, 417.
Tibi, Islamism, 53.
Ibid., 1-2.
Ibid.
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 6.
Nurcholisd Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan(Bandung: Mizan, 1993), 172.
Thoha Hamim, Wawasan Keislaman dan Kebangsaan di Era Kontemporer (Yogyakarta: Dialektika, 2017), 19.
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pres, 2001), 163.
Syekh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), 302.
Einar M. Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), 64.
Nata, Peta Keragaman Pemikiran, 149.
KH Ali Karrar Shinhaji (Ketua AUMA), Wawancara, Pamekasan 22 Juni 2017.
Informasi tentang penyebutan AUMA dan FKM sebagai NU Garis Lurus (NUGL) di Pamekasan, peneliti dapatkan dari Ahnu Idris, Ketua Ormas Gerakan Santri dan Pelajar Rahmatan Lil’alamin (GESPER). Menurutnya, AUMA dan FKM dalam beberapa hal memang seringkali menunjukkan ketidaksamaan sikap. Salah satunya ketika GESPER beserta ormas NU melakukan aksi penolakan atas kedatangan tokoh Wahabi Indonesia. Ahnu Idris (Ketua Ormas Gerakan Santri dan Pelajar Rahmatan Lil’alamin (GESPER), Wawancara, Pamekasan 17 Agustus 2018.

lihat lebih banyak lagi

HIMMAH Banten Sukses Gelar Webinar Nasional ‘Digital Youth Revolution’

TANGERANG - Dengan semangat mencetak pemuda yang siap menghadapi era digital dan disrupsi global, Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH) Provinsi Banten sukses menyelenggarakan Webinar...

161 Mahasiswa Unada Banda Aceh dan STAI Al Washliyah Ikuti Wisuda Sarjana

BANDA ACEH - Sebanyak 161 mahasiswa ikuti wisuda sarjana strata 1 (S1) Universitas Al Washliyah Darussalam (Unada) Banda Aceh dan Sekolah Tinggi Agama Islam...

PP IGDA Bersama 33 Organisasi dan NGO Hadiri Konferensi Madani ASEAN Leadership di Kuala Lumpur

KUALA LUMPUR - Organisasi Wadah pencerdasan umat Malaysia mengadakan konferensi tingkat regional bersama organisasi Islam dan NGO Muslim di negara-negara ASEAN dengan mengundang 33...

Doa Awal Tahun Hijriah

MENGAWALI Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447 Hijriah, sangat dianjurkan untuk berdoa agar kebaikan sepanjang tahun menyertai kita. Orang beruntung menjadi harapan kita sebagaimana...