ISTILAH “moderasi” sering dikaitkan dengan sikap menengahi suatu masalah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” diartikan dengan “pengurangan kekerasan” atau “penghindaran keekstreman”.
Secara umum, istilah moderasi sering dipahami sebagai aktivitas memandu, mengarahkan, dan menengahi komunikasi interaktif yang terjadi antara beberapa pihak dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Dengan kata lain, moderasi adalah suatu tindakan atau sikap yang mampu menjadi penengah (wasith) dalam upaya penyelesaian persoalan antara kedua belah pihak atau lebih, sehingga persoalan itu menemukan solusi dan kedamaian dengan mereduksi potensi kekerasan atau keekstreman.
Berdasarkan fakta sejarah, lahirnya organisasi Al Jam’iyatul Washliyah di Medan, Sumatera Utara, tidak hanya bertujuan untuk membangun semangat dan kesadaran nasionalisme masyarakat untuk bangkit bersatu melawan penjajah Belanda, namun juga secara bersamaan, kehadiran Al Jam’iyatul Washliyah berperan sebagai garda terdepan dalam menggagas atmosfer moderasi beragama di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim di Sumatera Utara, terutama di kota Medan.
Sebelum berdirinya Al Jam’iyatul Washliyah, penjajah Belanda yang menguasai bumi Nusantara secara terus-menerus berupaya mengadu domba rakyat agar bangsa Indonesia
tetap berpecah-belah dan tidak bisa bersatu. Upaya memecah belah rakyat pada gilirannya merasuk hingga ke sendi-sendi ajaran agama Islam.
Saat itu, umat Islam berpecah belah karena perbedaan pandangan terutama dalam persoalan cabang agama (furu’iyah). Kondisi ini terus meruncing, sehingga umat Islam terbagi menjadi dua kelompok yang disebut dengan “Kaum Muda dan Kaum Tua.” Perbedaan paham di bidang agama ini semakin hari semakin tajam dan sampai pada tingkat yang meresahkan masyarakat.
Perbedaan paham yang paling menonjol di antara kaum muda dan kaum tua ini terdapat pada aspek pemahaman bahwa Kaum Tua tetap berpedoman kepada sirah ilmu, yakni
memahami ajaran syariat bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Rasul, pendapat para sahabat sampai kepada kesimpulan hukum yang dikeluarkan oleh para Imam Mazhab. Sementara
Kaum Muda secara umum menetapkan hukum syara’ dalam persoalan-persoalan modern berdasarkan ijtihad, tidak mesti mengikuti pendapat para Imam Mazhab, ada keharusan
menghadapi persoalan modern dengan ijtihad yang baru.
Dengan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam khususnya di kota Medan saat itu, para pelajar yang menimba ilmu di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan yang
bergabung dalam Debating Club bertekad untuk mempersatukan kembali umat yang terpecah-belah itu.
Para pelajar MIT terus aktif melakukan diskusi-diskusi sehingga semakin hari kajian diskusi semakin tajam dan berkembang. Dari diskusi-diskusi kecil itu lahirlah sebuah ide untuk mendirikan wadah atau organisasi yang lebih besar guna merespons kondisi masyarakat secara optimal, yang pada kelanjutannya telah berhasil meraih dukungan masyarakat Medan.
Dukungan itu bukan hanya dari para pelajar, tetapi juga dari para guru dan ulama, sehingga muncul gagasan agar kelompok kecil ini diperbesar dan diperluas cakupannya serta ditambah jumlah anggotanya. Dengan latar belakang inilah lahirnya organisasi yang secara resmi berdiri pada tanggal 30 Nopember 1930 M/9 Rajab 1349 H, dan diberi nama Al Jam‘iyatul Washliyah, disingkat dengan sebutan Al Washliyah.
Secara nasional, fakta yang menguatkan bahwa Al Washliyah sebagai penggagas atmosfer moderasi beragama di Nusantara ditandai peran moderasi yang dilakukan organisasi
ini sebagai wasith (penengah) antara paham keagamaan yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan paham keagamaan yang diusung oleh Muhammadiyah.
Istilah populer yang berkembang di masyarakat, Nahdlatul Ulama disebut “Kaum Tua” karena diidentikkan dengan berpegang pada “kitab kuning” dan mementingkan keaslian sumber yang dipakai benar-benar dari para ulama Islam terdahulu, sementara Muhammadiyah disebut “Kaum Muda,” karena melakukan pembaharuan dalam agama dengan cara melepaskaan ikatan dari fatwa-fatwa ulama terdahulu, meninggalkan tradisi bertaklid, dan menyeru masyarakat supaya melakukan ijtihad. Dalam hal ini, Al Washliyah berperan mengatasi pertentangan paham keagamaan yang terjadi pada saat itu.
Sejak berdirinya hingga saat ini, Al Washliyah meyakini bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta) melalui wahyu Al-Qur’an telah
menempatkan posisi umatnya (kaum Muslim) sebagai umat yang wasathan, yakni mampu menjadi penengah (wasith) dalam menyikapi persoalan terjadi di tengah-tengah kehidupan
manusia sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang menjadi penengah (wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (Q.S. Al-Baqarah/2: 143).
Moderasi Beragama dalam Perspektif Al Washliyah Moderasi beragama merupakan suatu perilaku, sikap maupun pemikiran yang mampu menjadi penengah (wasith) dalam upaya menyikapi atau menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama, baik pengamalan ajaran agama yang dianut oleh pemeluknya maupun terhadap perbedaan atau pertentangan yang berhubungan dengan masalah antar agama yang berbeda, sehingga persoalan yang dihadapi itu menemukan solusi (jalan keluar) dengan menghindari kekerasan atau keekstreman.
Dalam hal yang berkaitan dengan pengamalan ajaran agama yang dianut oleh pemeluknya, Al Washliyah mengajarkan bahwa umat Islam dituntut untuk menjiwai ajaran agamanya dengan mengedepankan berpikir, berperilaku, dan bersikap yang didasari sikap tawazun (seimbang), sehingga merasakan keasyikan dan kenikmatan dalam mengimplementasikan ajaran agamanya.
Sementara terhadap umat yang berbeda agama, umat Islam dituntut untuk mengembangkan sikap menghargai perbedaan keyakinan, toleransi, menghormati cara beribadah, menghindari kekerasan dan bersikap ekstrim yang berdampak memojokkan (pejoratif) terhadap penganut agama lain. Karena itu dalam berdialog atau berdiskusi dengan umat yang berbeda agama, Islam melarang berdebat dengan sikap kasar dan argumen yang menyudutkan serta menyakiti perasaan umat yang berlainan agama. Dalam
Surah Al-Ankabut ayat 46 dijelaskan: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik…”.
Selain itu, dalam aktivitas pendidikan dan dakwahnya, Al Washliyah turut mengedukasi masyarakat dengan memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam juga melarang menjelek-
jelekkan, menghina, dan memaki Tuhan yang disembah oleh penganut agama lain guna menghindari terjadinya ketersinggungan dan tindakan negatif yang melampaui batas dari
penganut agama yang dihina, sebagaimana peringatan Allah Swt. dalam Surah Al-An’am ayat 108: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….”
Sebagai organisasi yang memperhatikan kehidupan sosial, Al Washliyah juga berkomitmen mewujudkan toleransi kepada umat yang berbeda agama dengan berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka, selama mereka memelihara dua hal utama, yakni tidak memerangi umat Islam karena agama dan tidak mengusir kaum Muslim dari negeri yang sah
mereka tempati. Hal ini didasarkan pada Surah Al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Di samping itu pula, Al Washliyah menanamkan sikap moderasi beragama yang luhur bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan terhadap siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, termasuk membela keadilan untuk umat yang berbeda agama demi tegaknya kebenaran. Secara umum, perintah tersebut termaktub dalam Surah Al-Ma’idah ayat 8: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam dunia pendidikan dan dakwahnya, Al Washliyah menegaskan bahwa moderasi beragama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam. Dalam pandangan Al
Washliyah, kemuliaan sikap dan perilaku umat Islam di hadapan Allah ternyata tidak saja dinilai berdasarkan kesalehan pribadinya menjalankan ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga dinilai sejauh mana kesalehan sosialnya dalam memelihara hubungan baik di masyarakat, termasuk terhadap umat yang berbeda agama.
PENUTUP
Al Washliyah merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang meyakini ajaran Islam bersifat universal (rahmatan lil’alamin) dan mengajarkan masyarakat muslim berpikir,
berperilaku, dan berinteraksi yang didasari sikap tawazun (seimbang) dalam dimensi duniawi dan ukhrawi.
Di dalam lembaga pendidikan Al Washliyah juga diajarkan sikap dan perilaku untuk mengimplementasikan moderasi beragama, termasuk di dalamnya menghargai perbedaan agama, menghormati keyakinan dan cara beribadah umat yang berbeda agama, bersikap toleransi, dan berlaku adil terhadap semua umat beragama.
Meskipun demikian, sikap moderasi beragama dalam pandangan Al Washliyah ditegaskan bahwa tidak berarti bahwa umat Islam yang dianggap moderat dilarang berpegang
teguh dan bertindak istikamah dalam batasan-batasan yang justru wajib dipertahankan sebagai pemeliharaan identitas keimanannya kepada Allah.
Karena itu, menuduh washliyyin (warga Al Washliyah) yang berkomitmen terhadap agamanya sebagai “kelompok radikal atau ekstrem kanan” adalah kegagalan total dalam memahami makna moderasi beragama. Fakta sejarah dan paham keagamaan Al Washliyah yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, justru menunjukkan bahwa Al Washliyah berperan sebagai penggagas atmosfer moderasi beragama, tidak hanya di Sumatera Utara, tetapi juga di wilayah Nusantara. Adanya pengakuan segelintir umat Islam yang mengedepankan jargon “moderasi beragama”, sementara sikap pribadinya merendahkan ajaran Islam, justru itulah sikap “kemunafikan” yang dibungkus atas nama moderasi beragama. Wallâhu A’lam bish-Shawab!
Nashrun minallâh wa fathun qarîb, wa basysyiril mu’minîn.
Dr. Mohammad Al Farabi, M.Ag.
- Wakil Sekretaris Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Periode 2021-2026
- Dosen Pascasarjana & FITK Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.