ALLAH subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maKa berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Saad, 38: 26).
Nafsu adalah cinta dalam arti negatif, dan sikap berlebihan dalam mencintai diri. Sifat nafsu adalah selalu berusaha menjadikan diri menentang petunjuk akal dan berjalan di jalan yang dipenuhi syahwat. Salah satu tabiat manusia adalah mencintai dirinya sendiri.
Kalau hawa nafsu adalah musuh akal dan kebijaksanaan, maka syarat pertama dalam melakukan perbaikan diri dan menjadikannya berjalan di bawah petunjuk akal adalah menentang dan tidak tunduk terhadap nafsu. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at, 79: 40-41).
Dr. Badar bin Nashir Al-Badar mengatakan bahwa Nafsu (al-hawa) artinya adalah menggiring dirinya sendiri untuk memenuhi keinginannya. Apabila kecondongannya pada sesuatu yang bertentangan dengan syariat dan agama, maka nafsu tersebut merupakan nafsu yang tercela. Namun jika kecondongannya pada sesuatu yang sesuai dengan syariat, maka nafsu tersebut merupakan nafsu yang terpuji. Nafsu yang tercela juga terbagi menjadi dua, terkadang maksudnya adalah menuruti sesuatu yang syubhat (kesamaran dalam agama), dan terkadang tentang menuruti syahwat (hawa nafsu).
Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang kuat adalah orang yang dapat mengalahkan nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah mati, sedangkan orang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya serta mengharapkan berbagai (karunia) Allah secara angan-angan belaka.” (HR. Turmudzi). Dalam hadis lain Nabi Saw. bersabda, “Seorang pejuang adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.”
Dr. Badar lebih lanjut mengatakan bahwa ‘nafsu yang terkait dengan syubhat bisa lebih berbahaya dan lebih parah akibatnya daripada nafsu yang terkait dengan syahwat. Sebab kesamaran jika dibiarkan terpendam di dalam hati, akan membuat hatinya melemah dan berpaling dari agama Allah atau keyakinannya. Bisa jadi ia tidak lagi yakin dengan syariat Allah dan tidak lagi menyukai agama dan segala titah dari Allah. Sedangkan nafsu syahwat “hanya” membuat seseorang melakukan hal-hal yang diharamkan kepadanya, seperti berbuat zina, meminum khamar, menumpuk harta yang tidak halal, dan lain sebagainya (namun tidak sampai merusak keyakinannya)’.
Nafsu manusia tidak ubahnya seperti binatang tunggangan yang tidak patuh yang hendak menguasai dan membangkang kepada penunggangnya, senantiasa ingin lari cepat sehingga si penunggang tidak mungkin mencegah dan mengendalikannya. Dalam hal ini, manusia dituntut untuk mengekangnya dengan kendali taqwa, penyucian diri, hikmah, dan mengendalikannya sehingga tidak jatuh ke dalam jurang.
Mengekang hawa nafsu berarti melawan hawa nafsu dan memaksanya untuk tunduk kepada perintah-perintah akal dan agama. Berkenaan dengan hal ini, manusia berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keimanan, akhlak dan nurani mereka. Terdapat kelompok (1) manusia yang tidak melihat adanya pertentangan dengan hawa nafsunya, dan tidak merasa khawatir dengannya. Mereka menganggap bahwa tingkah laku dan perbuatannya adalah benar.
Sementara itu, kelompok (2) manusia lain mengetahui bahwa perbuatan mereka tidak benar, akan tetapi mereka tidak memberikan perhatian sedikitpun untuk memerangi hawa nafsunya atau mengaturnya. Kedua kelompok tersebut, sesungguhnya, hidup di dalam kelalaian yang kelak akan berubah menjadi penyesalan yang mendalam di dunia dan akhirat. Kelompok ketiga adalah mereka yang hidup dalam keadaan berperang dengan hawa nafsunya.
Tujuan mereka (kelompok ketiga) adalah untuk meluruskan diri dan menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang salah dan tercela. Adakalanya mereka berhasil di dalam menundukkan hawa nafsunya dan beramal sesuai dengan apa-apa yang diperintahkan oleh agama dan akal, namun adakalanya pula mereka gagal. Dibandingkan dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga jelas jauh lebih tinggi tingkatannya.
Adapun kelompok keempat, yaitu mereka yang hidup dalam keadaan tidak berperang dengan hawa nafsunya. Karena, nafsu mereka adalah nafsu yang tenang. Mereka hanya berbuat dan bertindak sesuai dengan agama dan akal. Diantara kelompok ketiga dan keempat terdapat banyak tingkatan. Setiap kali seorang manusia berusaha mengontrol, menyucikan dan memperhitungkan nafsunya, dan juga memenangkan pertempuran dengan hawa nafsunya, maka setiap kali itu pula kedudukannya naik dan derajat ketenangan dirinya bertambah.
Dalam menyikapi nafsu yang tercela Imam Asy-Syathibi mengatakan, “Oleh sebab itulah para pelaku bid’ah dikatakan sebagai ahli ahwa’ (orang-orang yang menuruti hawa nafsunya untuk melakukan bid’ah), karena mereka menuruti hawa nafsunya saja tanpa mengindahkan dalil dari Al-Qur’an atau hadits. Mereka lebih mengedepankan hawa nafsu dan bersandar pada pendapat mereka sendiri, lalu menjadi dalil sebagai cadangan dan diambil jika sesuai dengan pemikiran mereka saja. Dan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan, “Begitu juga dengan bid’ah yang muncul dengan mengedepankan hawa nafsu di atas syari’at.” Juga Syaikh Ali Mahfudz mengatakan, “Orang bid’ah itu mengikuti hawa, sebab sebenarnya akal itu kalau tidak mengikuti syara’ berarti mengikuti hawa dan syahwat. Ketahuilah bahwa orang-orang yang mengikuti hawa, sesungguhnya itulah kesesatan yang nyata.”
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah juga turut menjelaskan bahaya mengikuti hawa nafsu yang berkaitan dengan syubhat ini, ia mengatakan, “Menuruti hawa nafsu yang terkait dengan agama lebih berbahaya dibandingkan menuruti hawa nafsu yang terkait dengan syahwat. Karena hawa nafsu yang pertama itu biasanya dilakukan oleh orang-orang kafir, ahli kitab (Nashrani dan Yahudi), dan kaum musyrikin. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt., “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginanya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashash, 28:50).
Atas dasar inilah orang-orang yang keluar dari koridor Al-Qur’an dan hadits meskipun berasal dari kalangan ulama ataupun ahli ibadah, mereka disebut sebagai ahli ahwa. Sebutan ini disebabkan karena Al-Qur’an menjelaskan bahwa siapa pun yang tidak mengikuti ilmu berarti ia mengikuti hawa nafsunya, padahal ilmu agama itu hanya berasal dari petunjuk Allah yang kemudian disampaikan oleh Rasul-Nya.
Ada beberapa akibat yang ditimbulkan seseorang menuruti hawa nafsunya: Menuruti hawa nafsu itu menjadi alasan utama yang membuat rusaknya pemikiran dan pendapat, serta terhempas dalam kontradiksi dan kekacauan pikiran. Orang yang seperti itu tidak lagi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali jika sesuai dengan hawa nafsunya dan tidak bertentangan dengan keinginannya; Menuruti hawa nafsu dan mengedepankannya di atas perintah Allah akan mendatangkan hukuman dari Allah, karena hal itu akan mengarahkan pelakunya untuk memoles kebatilan hingga terlihat bagus seperti kebaikan lalu disukai olehnya atau oleh orang lain. Sebagaimana ia juga selalu menghindar dari kebenaran hingga yang tertancap di dalam hatinya adalah penyimpangan, dan sulit sekali baginya untuk menerima nasihat atau bahkan menentangnya.
Allah Swt. berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat). Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?.” (QS. Al-Jatsiyah, 45:23).
Menuruti hawa nafsu menjadi sebab utama seseorang jauh dari Sunnah dan menggantinya dengan bid’ah. Maka Abu Utsman An-Naisaburi mengatakan, “Barang siapa yang membawa dirinya untuk mengikuti hawa nafsunya, baik perkataan atau perbuatan, maka kata-kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan bid’ah.
Ada beberapa hal yang bisa membuat seseorang dapat mengendalikan hawa nafsunya dan mengalahkannya. Di antaranya adalah: Takut kepada Allah dan selalu merasa diawasi-Nya dalam setiap perkataan dan perbuatan, baik dalam keadaan sendiri ataupun di depan orang, serta selalu mengusahakan kejujuran dan keadilan, baik kepada kaum kerabat ataupun kepada orang yang tidak dikenal; Merenungi akibat yang disebabkan menuruti hawa nafsu dan pengaruh buruknya dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat; Membiasakan diri untuk menentang hawa nafsunya, mengambil kendali, memaksanya untuk menerima kebenaran dan menerapkannya, serta meninggalkan segala macam bentuk maksiat dan menjauhi diri dari perbuatan dosa.
Selain dari semua penawar itu, obat yang juga paling mujarab untuk mengalahkan hawa nafsu adalah, dengan berdo’a kepada Allah dengan segala kerendahan hati untuk dijauhi dari hawa nafsu dan fitnah (kemaksiatan) yang menyesatkan. Lalu meminta di hadapan Allah untuk selalu menegakkan keadilan dan kebenaran dan setiap urusan. Wallahu a’lam bish shawwab.
Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag
- Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
- Wakil Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah