ALLAH subhanahu wa ta’ala telah menciptakan laki-laki dan wanita dalam struktur yang saling membutuhkan di dalam hidup ini. Allah Swt. menjadikan laki-laki kuat dan keras, karena dia adalah pemimpin dan yang menanggung beban dan kesulitan. Allah Swt. menjadikan wanita lembut, karena dia mempunyai peranan besar dalam melahirkan dan membesarkan keturunan.
Jika seorang istri menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai istri dalam bentuk yang sebaik-baiknya, menciptakan suasana yang menyenangkan bagi suaminya di dalam menyusuri kehidupan, memenuhi atmosfir keluarga dengan kecintaan dan kebersamaan, dan bangkit bergerak mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik, maka usaha dan perbuatannya itu dihitung sebagai jihad di sisi Allah Swt.
Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rûm, 30:21).
Dan Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, “… Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri) menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisà, 4:19).
Hak suami atas istrinya sangat besar, dan menunaikan hak itu dengan baik akan menghasilkan pahala yang besar pula bagi seorang istri. Sedang mengabaikan dan melalaikan hak itu akan mendatangkan dosa besar.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Sekiranya aku boleh menyuruh seseorang untuk menyembah orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk menyembah suaminya.” (HR. Ahmad). Hal ini lantaran seorang suami mempunyai hak yang sangat besar atas istrinya.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Kewajiban seorang istri terhadap suaminya ialah hendaknya ia tidak menolak bila diajak (bersenggama) oleh suaminya sekalipun sedang berada di atas kendaraan, hendaknya tidak berpuasa kecuali atas seizin sùaminya, kecuali puasa fardhu. Apabila ia tetap berpuasa (puasa sunat) maka ia berdosa dan puasa sunatnya tidak diterima. Dan hendaknya dia tidak membelanjakan sesuatu pun dari rumah suaminya kecuali atas seizinnya. Apabila ia melakukan perbuatan tersebut maka ia berdosa sedangkan suaminya mendapat pahala. Juga hendaknya ia tidak keluar rumah kecuali atas seizin suaminya. Apabila ia mengerjakan hal tersebut, niscaya Allah dan para malaikat-Nya melaknatinya hingga ia bertobat atau ia kembali (ke rumah suaminya) sekalipun suaminya adalah orang yang aniaya.” (HR. ath-Thayalisi melalui Ibnu Umar r.a.).
Lafadz ‘ Alaa zhahri qatabin, di atas pelana punggung unta, yakni di atas kendaraan untanya. Apabila suami menginginkan diri istrinya, maka si istri harus memenuhi keinginan suaminya, sekalipun ia sedang berada di atas kendaraan untanya. Hal ini hanyalah sebagai gambaran untuk menunjukkan bahwa istri harus berbakti sepenuhnya kepada suaminya di tempat mana pun, jika si suami menginginkannya.
Seorang istri tidak boleh melakukan puasa sunat kecuali dengan seizin suaminya, apabila ia mengerjakan puasa tanpa seizin suaminya, maka bukannya pahala yang ia dapat melainkan dosa karena tidak taat kepada suami dan puasanya pun tidak diterima. Hadits ini menerangkan tentang betapa besarnya hak seorang suami terhadap istrinya sehingga hak orang tuanya pun kalah oleh hak suaminya. Seorang istri harus mendahulukan hak suaminya daripada hak kedua orang tuanya.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Orang yang paling besar haknya untuk dimuliakan bagi wanita adalah suaminya, dan orang yang paling besar haknya untuk dimuliakan bagi lelaki adalah ibunya.” (HR. Hakim melalui Siti Aisyah r.a.).
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Hak suami atas istrinya ialah hendaknya ia tidak memisahkan diri dari tempat tidur suaminya; hendaknya ia berbakti kepada suami pada saat gilirannya; hendaknya ia menta’ati perintahnya; hendaknya ia tidak keluar kecuali seizinnya; dan hendaknya ia tidak memasukkan ke dalam rumah suaminya orang yang tidak disukai oleh suaminya.” (HR. Thabrani melalui Tamim ad-Daari).
Lafadz An tabarra qasamahu, hendaknya seorang istri melayani suaminya dengan penuh rasa bakti pada hari giliran yang diterimanya. Hal ini bila istri suaminya lebih dari seorang. Lafadz An la tudkhila ilaihi man yakrahu, dan janganlah seorang istri menerima seseorang yang tidak disukai oleh suaminya ke dalam rumahnya. Jika suami sedang tidak ada di rumah, janganlah seorang istri mempersilakan masuk ke dalam rumahnya seseorang yang tidak disukai oleh suaminya.
Dengan kata lain, hak seorang suami atas istri sangat besar, sehingga pernah diriwayatkan dari Nabi Saw., “Sekiranya tubuh lelaki itu penuh luka dari kepala hingga ke telapak kaki, lalu dijilati oleh istrinya, niscaya belum cukup menunaikan hak suami yang wajib atas istrinya.”
Hendaknya seorang istri berusaha sungguh-sungguh untuk memenuhi segala tanggung jawab terhadap suaminya tanpa boleh melalaikan dan mengabaikan sesuatu pun, agar istri bisa memperoleh pahala yang besar dari Allah Swt. dan keridhaan-Nya, disampimg terselamatkan dari siksa dan murka-Nya.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Kewajiban suami terhadap istrinya ialah memberi makan apabila makan, dan memberi pakaian apabila berpakaian. Janganlah memukul mukanya, jangan menjelek-jelekkannya, serta jangan mengucilkannya kecuali dalam rumah.” (HR. Hakim).
Hadits ini menerangkan tentang hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Dan janganlah seorang suami mengisolir istrinya kecuali hanya dalam lingkungan rumah, tetapi jika di luar rumah suami harus tetap mendampinginya. Atau dengan kata lain, janganlah seorang suami menampakkan sedang bertengkar dengan istrinya di luar rumah atau di hadapan tamu.
Dalam hadits yang lain Beliau Saw. bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian menggauli istrinya, maka janganlah ia menjauh sebelum ia menunaikan hajatnya, sebagaimana pun ia suka menunaikan hajatnya.” (HR. Ibnu ‘Addi melalui Thalq). Dalam hadis lain disebutkan, “Apabila di antara kamu ada yang bersenggama dengan istrinya hendaknya lakukanlah dengan kesungguhan hati. Apabila selesai hajatnya sebelum selesai istrinya, hendaklah dia sabar menunggu sampai istrinya selesai hajatnya.” Juga dalam hadis lain dinyatakan, “Apabila seorang di antara kamu menggauli istrinya, janganlah menghinggapinya seperti burung yang bertengger sebentar lalu pergi.” Dan juga, “Rasulullah Saw. melarang azal terhadap istri kecuali dengan persetujuannya.” (HR. Ahmad).
Agama Islam ialah agama yang mengatur kehidupan manusia dari segala aspeknya sehingga masalah menggauli istri pun diatur oleh Islam dengan cara yang baik. Di antaranya ialah dalam masalah berjimak, yaitu bilamana seseorang bersetubuh dengan istrinya, janganlah ia berlaku egois, yaitu hanya untuk mendapatkan kepuasan diri sendiri, tetapi puaskannya istrinya karena ia pun ingin kepuasan sama dengannya, bahkan dalam hadits lain disebutkan hal ini merupakan sedekah.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami bila menunaikan nafsu syahwatnya mendapat sedekah?” Rasul Saw. menjawab, “Ya benar, bagaimana pendapatmu apabila hal itu diletakkan kepada hal yang diharamkan, apakah ia mendapat dosa?” Mereka menjawab dengan penuh kesadaran, “Ya memang benar.”
Hadits ini menganjurkan kepada kita agar menggauli istri dengan cara yang baik, perihalnya sama dengan apa yang diutarakan oleh hadits lainnya, yaitu, “Rasulullah Saw. melarang seseorang melakukan persetubuhan sebelum berpanas-panasan terlebih dahulu (dengan istrinya).” Dalam hadis yang lain disebutkan, “Janganlah kamu menggauli istri sebagaimana unta atau keledai, tetapi hendaklah bercumbu dan bercengkerama terlebih dahulu.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh termasuk orang yang paling buruk kedudukannya kelak di hari kiamat menurut Allah ialah seseorang yang mencampuri istrinya, dan begitu pula istrinya, kemudian ia menyiarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim).
Hubungan senggama antara suami istri merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui kecuali hanya oleh kedua belah pihak yang bersangkutan, dan Allah Swt. Apabila salah satu pihak membicarakannya kepada orang lain, berarti ia telah membuka rahasianya, padahal Allah Yang Maha Mengetahui semua perbuatan mereka dan merahasiakannya. Orang yang melakukan demikian kelak di hari kiamat akan memperoleh kedudukan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan demikian merupakan perbuatan yang berdosa, dan hadis ini mengandung makna peringatan agar orang-orang tidak melakukan hal tersebut. Wallahu A’lam bish Shawabi.
Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag
- Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
- Wakil Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah