SABTU, 15 April 2023, Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah (LKSA) Pengurus Besar (PB) Al Jam’iyatul Washliyah kembali menggelar diskusi secara virtual terkait tema filantropi Al Washliyah. Pada sesi terakhir ini, LKSA mengundang tiga orang narasumber. Pertama, M. Fadhillah, S.E., Direktur ALZIS PB Al Jam’iyatul Washliyah yang memaparkan visi, misi, tujuan dan program ALZIS. Kedua, Dr. Mohammad Al Farabi, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Medan, yang membahas materi tentang pembiayaan pendidikan dari zakat, infak dan sedekah perspektif historis dan filosofis.
Ketiga, Zuhri Arif, S.H., M.H., dosen Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan yang mengulas materi hikmah zakat menurut A. Rahim Sjihab. Ketiga narasumber ini telah menyampaikan materi mereka masing-masing dan mendapatkan respons positif dari peserta diskusi. Diskusi ini dipandu oleh Syah Wardi, S.H., M.H., dihadiri oleh sejumlah mahasiswa, dan dibuka secara resmi oleh Ketua Hubungan Antar Lembaga PB Al Washliyah, Wizdan Fauran Lubis, S.E., M.M.
Dalam kata sambutannya, Ketua LKSA menegaskan bahwa secara umum tujuan diskusi ini adalah untuk menguak doktrin dan gerakan filantropi Al Washliyah. Secara khusus, diskusi kali ini bertujuan untuk menemukan landasan historis dan filosofis terkait pembiayaan pendidikan dari zakat, infak dan sedekah; menguak visi, misi, tujuan, dan program ALZIS; dan menampilkan pendapat A. Rahim Sjihab, yang merupakan salah satu ulama Al Washliyah, tentang hikmah zakat.
Ketua LKSA juga menyampaikan secara gamblang bahwa seluruh makalah narasumber yan diundang dan telah menyampaikan materinya segera diterbitkan secara digital dan diberi judul “Filantropi Al Washliyah.” Buku ini adalah produk utama dari rangkaian diskusi yang digelar LKSA di bulan Ramadan tahun ini, dan dapat terus dibaca oleh seluruh simpatisan, anggota, kader dan pengurus Al Washliyah hari ini dan di masa depan. Seluruh narasumber telah sukses menyampaikan materi mereka di berbagai diskusi yang telah digelar. Kegiatan ini juga merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan kajian-kajian yang baru, unik dan aktual tentang studi Kealwashliyahan, apalagi diketahui tidak ada referensi khusus dan tuntas yang mengulas tentang doktrin dan gerakan filantropi Al Washliyah di masa silam, masa saat ini dan masa yang akan datang.
LKSA juga berencana akan menggelar diskusi secara intensif tentang eksistensi perguruan tinggi Al Washliyah di era Reformasi, dan juga tentang epistemologi Al Washliyah. Produk utama dari dua kegiatan tersebut adalah buku yang mengulas perkembangan kontemporer pendidikan tinggi Al Washliyah; dan juga buku yang menguak gagasan ulama dan organisasi Al Washliyah tentang filsafat pengetahuan. Diskusi-diskusi ini merupakan bentuk komitmen LKSA untuk melestarikan tradisi intelektual Al Washliyah yang telah lama dimulai oleh para pendiri organisasi ini.
Narasumber pertama, M. Fadhillah, S.E., menyampaikan bahwa ALZIS merupakan lembaga zakat, infak dan sedekah yang didirikan oleh PB Al Washliyah yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan dana zakat, infak, wakaf, dan dana kedermawanan lainnya dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya. Lembaga ini adalah lembaga nirlaba milik Al Washliyah yang mengusung slogan Dari Ummat, Untuk Ummat, Kembali ke Ummat yang berupaya mendorong kesejahteraan serta mengangkat harkat sosial tidak hanya warga Al Washliyah, namun juga umat Islam secara umum di seluruh dunia. Tujuan lembaga ini adalah mengangkat kaum lemah dari kemiskinan dan kebodohan menuju kesejahteraan dan kemuliaan. Program-program lembaga ini adalah sahabat pelajar Indonesia, sahabat guru Indonesia, sahabat usaha mikro Indonesia, sedekah air bersih, sahabat dai Indonesia, dan Indonesia mengaji.
Narasumber kedua, Dr. Muhammad Al Farabi mengungkap bahwa pembiayaan pendidikan dari zakat, infak dan sedekah bukan perkara baru dalam dunia Islam, tetapi sudah berlangsung sejak periode awal Islam. Pada periode Nabi, kegiatan pembelajaran dilakukan dengan sukarela, dan belum terlihat dengan jelas sumber pembiayaan. Dr. Al Farabi menjelaskan “pendidik di zaman Rasulullah tidak mengharapkan imbalan jasa berupa gaji dan pemberian lainnya, tetapi semata-mata mengharapkan rida Allah Swt., dan mereka menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan.”
Barulah pada era berikutnya, kaum Muslim mendirikan Baitul Mal yang diberdayakan di antaranya untuk menyandang dana pembangunan tempat-tempat pendidikan (sekolah) dan menggaji para guru. Sumber keuangan Baitul Mal pada masa itu berasal dari zakat, infak, dan sedekah kaum Muslim. Pada awal abad ke-20, Al Washliyah sebagaimana ormas Islam lainnya menginisiasi dan mendirikan ratusan lembaga pendidikan Islam dengan memanfaatkan zakat, infak, sedekah, dan wakaf dari kaum Muslim. Dr. Al Farabi menegaskan bahwa Al Washliyah sejak didirikan tahun 1930 telah memanfaatkan dana filantropi untuk memajukan, mementingkan dan menambah tersiarnya agama Islam, terutama dalam bidang pendidikan, dakwah dan amal sosial. Al Washliyah juga merupakan organisasi yang mencintai dan memperhatikan nasib kaum duafa (orang-orang lemah). Para guru Al Washliyah merupakan tipikal pendidik yang ikhlas dimana mereka memberikan edukasi kepada kaum Muslim terutama kaum yang lemah.
Narasumber ketiga, Zuhri Arif, M.H., menyampaikan tiga kesimpulan perihal hikmah zakat menurut A. Rahim Sjihab. Pertama, dengan zakat, jurang antara orang yang mampu (kaya) dan orang yang tidak mampu (miskin) tidak tercipta. Kedua, untuk menghidupkan amal sosial di tengah masyarakat. Ketiga, dengan zakat, terbangunlah di dalam hati kaum Muslim rasa cinta dan kasih untuk saling memberi pertolongan, terutama kepada orang yang tidak mampu, sehingga mereka dapat merasakan nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada sebagian hamba-Nya.
Dr. Ja’far, M.A.
(Ketua LKSA PB Al Washliyah dan Dosen Pascasarjana IAIN Lhokseumawe)