“Semasa menjabat sebagai presiden, Bung Karno juga mengakui kiprah Al Washliyah. Salah satunya adalah menunjuk pendiri Al Jam’iyatul Washliyah Ismail Banda menjadi Konsulat Jenderal untuk Iran, di Teheran tahun 1947.” [ Rahmat Sahid].
DALAM buku karya Rahmat Sahid, “Ensiklopedia Ke-Islaman Bung Karno”, cetakan ke-1, Juni 2018, dalam Bab 10, halaman 313-342 diantara sub judul buku penulis tersebut menulis “Bung Karno dan Ormas Islam”, terdapat disana adalah salah satunya adalah organisasi Islam yang bernama Al-Washliyah.
Adapun Rahmat Sahid, dalam karyanya itu menyebut berberapa organisasi Islam yang terbesar dan tersebar di Negara Kesatuan Republik Indonsia ini, di antaranya disebutkan dimulai dari urutan Ormas- Ormas Islam yakni, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama [NU], Persis, Al Khairaat, Al-Irsyad, Al-Jam’iyatul Washliyah [Al-Washliyah], Sarekat Islam, Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia [PMII].
Dikutip pada halaman 331, Rahmat Sahid, bahwa dalam karyanya secara khusus menulis sekilas terkait tentang Al Washliyah, sebagaimana penulis kutip adalah sebagai berikut, “Organisasi yang berdiri di Kota Medan pada 1930 ini lebih dikenal bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan.
Selanjutnya menurut Ramat Sahid, sehingga, para tokohnya kadang tidak terlalu dikenal sebagaimana tokoh sejumlah organisasi yang banyak bersentuhan langsung dengan perjuangan mengangkat senjata. Namun, mereka sebenarnya tetap mempunyai peranan dalam perjalanan negeri ini, karena pendidikan membentuk SDM bangsa yang tak kalah pentingnya bagi bangsa.
Masih nenurut Rahmat Sahid, Al Washliyah dalam sejarahnya tidak hanya bersikap lokal di Medan, tetapi berkembang keberbagai pelosok tanah air. Bahkan para kadernya banyak juga berkiprah di dunia internasional, khususnya ASEAN. Walaupun banyak di bidang pendidikan, bukan berarti Al Washliyah tidak bersinggungan dengan perjuangan kemerdekaan.
Dalam perjuangan, Al Washliyah terlibat langsung secara militer [Laskar] dan nonmiliter serta terus bersinergi membentuk majelis pertahanan kemerdekaan Indonesia. Secara militer, Al Washliyah terbukti turun ke medan perang bersama- sama laskar organisasi lainnya melawan bangsa penjajah yang ingin menguasai kembali bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang diceritakan dalam buku Jihad Akbar di Medan Area karangan Amran Zamzani yang diterbitkan Bulan Bintang [1990], berita yang mengembirakan tentang kemerdekaan tersebut secara resmi sampai ke kota Medan 30 September 1945 saat peresmian Barisan Pemuda Indonesia [BPI] yang bertempat di Sekolah Taman Siswa Jalan Amplas Medan.
Kala itu, Gubernur Sumatera Utara, T.M.Hasan menyampaikan pidatonya tentang kemerdekaan tersebut, dan berita ini terus disebarkan ke seluruh wilayah Sumatera, seperti Palembang, Jambi, Bukittinggi, Tarutung dan Pematangsiantar.
Kemudian, dalam buku Buku Peringatan Al Jam’iyatul Washliyah 1/4 Abad, disebutkan bahwa Al Washliyah juga memperingati Proklamasi ini pada 6 Oktober 1945 di Lapangan Fukuraido [sekarang Lapangan Merdeka]. Pada 9 Oktober 1945, Pengurus Besar Al Washliyah mengirim surat kawat [telegram] kepada Presiden Soekarno di Jakarta dan kepada T.M. Hasan Gubernur Sumatera Utara di Medan, yang berbunyi, “Al Washliyah turut mempertahankan Republik Indonesia.”
Presiden Bung Karno juga mengakui kiprah Al Washliyah. Salah satunya adalah menunjuk pendiri Al Jam’iyatul Washliyah Ismail Banda menjadi Konsulat Jenderal untuk Iran, di Teheran tahun 1947. Namun, naas saat menuju Iran, pesawat kecil yang ditumpanginya dihantam badai gurun yang mengakibatkan seluruh penumpangnya tewas.” ungkap Rahmad Sahid.
Untuk mengenal lebih dekat lagi profil dan sosok dari pendiri Al Washliyah yang dipercayai dan ditunjuk oleh Bung Karno menjadi Konsulat Jendral untuk Iran di Teheran tahun 1947. Dikutip dari media kabarwasliyah.com./10 November 2015, tulisan dari H. Syamsir Bastian [Sekretaris PB Al Washliyah, Priode 2021-2026] yang berjudul “Buat Saya, Pendiri Al Washliyah Adalah Pahlawan Umat.” Selanjutnya penulis muatkan sebagai berikut.
Haji Ismail Banda [1910-1951]
Pendiri Al Jam’yatul Washliyah [Al Washliyah]. H. Ismail Banda, lahir sekitar tahun 1910 Masehi. Selesai pendidikan pertama agama Islam, beliau melanjutkan ke sekolah Menengah Islamiyah di Kota Medan. Sumatera Utara, selama lima lima tahun. Kemudian meneruskan pelajarannya je Universitas Al Azhar Kairo Mesir dengan bantuan orangtua dan Al Washliyah. Di Al Azhar, beliau memperlihatkan dirinya sebagai anak Indonesia yang cerdas dan kereatif. Pada tahun 1930 beliau berhasil meraih gelar Ahliyah pada Universitas tersebut dan memperoleh Ijazah ulama pada tahun 1937.
Ismail Banda bukan anak yang pasif. Dalam pergerakan Organisasi Mahasiswa Islam di Mesir, beliau ikut menjadi anggota pengurus dari perkumpulan Jam’iyah Chiriyah Jawiyah. Kemudian berubah menjadi Perkumpulan Pemuda Indonesia Malaya [PERPINDOM]. Pada tahun 1945 ia menjadi pendiri perkumpulan Kemerdekaan Indonesia Kairo.
Selama di luar negeri, beliau menjadi pembantu tetap dari ‘Pewarta Deli’ dan ‘Pemandangan’ sebagai koresponden luar negeri untuk Timur Tengah antara tahun 1932 sampai tahun 1942. Ia pun sempat pula menjadi staf redaksi surat kabar ‘Icksan’ bagian luar negeri di Mesir yang terbit dalam bahasa Arab. Di samping kesibukannya di dunia politik dan pergerakan, Ismail pun cukup pandai dalam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1940 beliau mendapat gelar BA bidang filsafat pada sekolah Tinggi Al Azhar dan pada tahun 1942 meraih gelar MA di bidang yang sama pula. Kemudian mendapat Ijazah dalam bahasa Inggris dari Cambrige University pada tahun 1944. Ismail Banda kembali ke tanah air pada 1947 dan terus ke ibukota Negara yang kala itu di Yogyakarta.
Pergaulannya di Yogyakarta amat menguntungkan umat Islam, dia bergerak aktif dalam Masyumi. Ia membuat beberapa causerie tentang Islam umumnya, tentang pendidikan dan pengajaran di Mesir di UII. Awalnya beliau bekerja pada Kementerian Agama. tetapi hatinya lebih tertarik dengan urusan luar negeri. Sejak tahun 1948 dia diangkat menjadi refrendaris pada Kementerian Luar Negeri di Yogyakarta.
Ismail Banda sempat kembali ke luar negeri dan menjadi penyiar pada beberapa radio untuk memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia yang pada waktu itu sangat sulit kedudukannya berhubungan pengepungan belanda. Pada 1950 Ismail Banda dipindahkan ke Jakarta pada kementerian Luar Negeri dan menjabat Perwakilan pada Kedutaan Indonesia di Teheran.
Dengan surat Kementerian Luar Negeri tertanggal 30 November 1951 ia dipetintahkan bekerja pada perwakilan Indonesia di Kabul, Afganistan dan harus berangkat dengan pesawat udara pada akhir Desember 1951. Sebelum ke Afganistan, Ismail Banda bermaksud hendak singgah dahulu di Mesir dan di Teheran. Tetapi dengan takdir Allah SWT, pesawat yang ditumpangi Ismail Banda dihantam badai topan dan mendapat kecelakaan di Teheran, Iran, yang menyebabkan seluruh penumpang pesawat itu tewas termasuk di dalamnya pendiri Al Washliyah Ismail Banda. Jasad beliau lalu dimakamkan di tempat kejadian yakni di Teheran, Iran. Wallahu ‘alam bish shawab.
“Nashrumminallahi wafathun qariib wabasysyiril mukminin.”
Wassalam: Al Faqir Aswan Nasution, Alumni 79′ Al Qismul ‘Aly Al Washliyah, Isma’iliyah, Medan, Sumatera. Domisili: Sandik, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat [NTB].