MAKKAH – Menjelang pelaksanaan wukuf di Arafah, Arab Saudi pada 8 Juli 2022, Ketua Umum Pengurus Besar Al Jam`iyatul Washliyah, Dr.H.Masyhuril Khamis,SH,MM, menyampaikan beberapa pesan dan ajakan untuk mendalami makna dan hikmah ibadah jumroh dan berkurban.
Menurut Ustad Masyhuril Khamis, melempar tiga jumroh yakni aqabah, wusta dan ula adalah simbol seperti melempar sifat buruk manusia yang pernah dilakukan oleh
Firaun, Qarun dan Haman pada zaman Nabi Musa. Yang menggambarkan sifat-sifat penindasan, keserakahan dan kemunafikan.
Dengan demikian, kata Masyhuril Khamis, melempar jumroh di Jamarat, pada hakikatnya membuang dan melempar sifat-sifat buruk tersebut, sehingga usai menunaikan ibadah haji, akan kembali menjadi manusia fitrah [suci] dan bertaqwa, serta menyadari makna hidupnya sebagai hamba Allah SWT.
Menjelang Idul Adha 1443 Hijriyah, Ustad Masyhuril Khamis mengimbau seluruh jemaah untuk membuang sifat-sifat jahat dan memohon pengampunan dari Allah saat melempar batu kerikil di Jamarat. Jadikan setiap kerikil itu adalah representasi dari dosa-dosa yang pernah dibuat.
Menunaikan ibadah wukuf di Arafah, menurut Ustad Masyhuril Khamis, bermakna berdiam sejenak untuk mengenal hakikat diri. Penuh istighfar dan muhasabah diri. Sejauhmana merenung diri, sebanyak apa dosa-dosa yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya. Saat ibadah wukuf maka kesempatan diri untuk introspeksi. Mohon ampunan kepada Allah SWT dan mohon maaf lah kepada sesama.
Masyhuril Khamis yang juga Ketua Bidang Perbaikan Akhlaq Bangsa MUI Pusat, mengajak jemaah untuk merenung tentang makna ibadah berkurban. Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bukan menunjukkan perintah untuk membunuh anak, namun itu adalah simbol pengakuan kepemilikan. Anak dan segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah dan bisa diambil kapan saja.
“Ismail dalam diri kita boleh jadi jabatan, boleh jadi harta yang kita banggakan, bukan Ismailnya tapi sikap kepemilikannya. Dan kita harus siap mengembalikannya pada yang paling berhak yaitu Allah SWT,” kata Masyhuril, yang kini menjadi anggota Amirul Hajj tahun 1443 H.
Untuk mengetahui mabrur atau tidaknya seseorang setelah menunaikan ibadah haji, kata Masyhuril Khamis, dapat dilihat adanya perubahan pada perilaku seorang jemaah haji. Dari segi ibadahnya, seseorang mengalami perubahan drastis, lebih peduli dengan sesama. Lebih rajin dan datang lebih awal untuk salat berjemaah di lingkungan.
Terakhir, Masyhuril mengajak para jemaah untuk menjadi guru bagi lingkungan dan warga sekitarnya. Segala sesuatu yang dilakukan selama ibadah haji, harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Selama di Madinah dan Makkah, jemaah paling cepat datang ke Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, maka kebiasaan baik itu harus dilakukan pada saat sudah berada di tanah air. [sir]