AL JAM’IYATUL WASHLIYAH merupakan ormas Islam moderat dengan jutaan pendukung yang tersebar di seluruh Indonesia. Benar bahwa Al Washliyah diresmikan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 30 November 1930 oleh figur muda visioner seperti Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab, Adnan Nur Lubis, Yusuf Ahmad Lubis dan M. Arsjad Th. Lubis, akan tetapi tak berapa lama kemudian, organisasi yang mereka bangun relatif berhasil berkembang di luar Keresidenan Sumatera Timur, khususnya Aceh. Tidak banyak kajian mendalam mengenai awal mula Al Washliyah memasuki wilayah Aceh. Artikel ini secara khusus akan memuat catatan ringkas mengenai histori awal Al Washliyah di Aceh selama era penjajahan sampai awal kemerdekaan Indonesia berdasarkan sumber-sumber tertulis organisasi yang terbit sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Perkembangan organisasi ini di Aceh pada era selanjutnya akan dibahas dalam kesempatan yang lain.
Pada awal abad ke-20, oleh pemerintah Hindia Belanda, Aceh secara resmi dijadikan sebagai sebuah provinsi dan pada tahun 1937 menjadi sebagai sebuah keresidenan sampai kekuasaan Belanda berakhir (Aceh dalam Angka 2006, halaman iv). Dalam buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1977: 150) disebutkan bahwa sebagai sebuah keresidenan, Aceh dibagi menjadi empat Afdeling. Keempat Afdeling tersebut adalah Afdeling Groot Atjeh (berpusat di Kutaraja), Afdeling Westkust van Atjeh (berpusat di Meulaboh), Afdeling Noordkust van Atjeh (berpusat di Sigli), dan Afdeling Ooskust van Atjeh (berpusat di Langsa). Setiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder Afdeling dimana terdapat 22 Onder Afdeling di Aceh, sedangkan setiap Onder Afdeling dibagi menjadi beberapa distrik yang disebut Uleebalangschap, dan setiap distrik dibagi menjadi beberapa Mukim yang terdiri atas Gampong (kampung). Sistem pemerintahan versi Belanda ini diteruskan oleh Jepang dengan mengubah istilah-istilah Belanda tersebut. Aceh sebagai keresidenan berlangsung sampai awal kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka, Aceh merupakah salah satu Keresidenan dari Provinsi Sumatera. Oktober 1945, Aceh menjadi sebuah Keresidenan dan kemudian mengalami beberapa kali perubahan status dari menjadi bagian dari daerah administratif Sumatera Utara (1947), dan menjadi salah satu Keresidenan dari Provinsi Sumatera Utara (1948), menjadi provinsi (1949), kembali menjadi Keresidenan (1950), dan akhirnya kembali menjadi sebuah provinsi (1956). Beberapa perubahan juga terjadi di era seterusnya. Paparan tentang ringkasan sejarah Aceh pada era kolonial sampai awal kemerdekaan ini penting diungkap untuk mengetahui awal keberadaan Al Washliyah di Tanah Rencong.
Al Washliyah sebenarnya sudah masuk ke Aceh setelah empat bulan organisasi Islam ini diresmikan di Medan pada tanggal 30 November 1930. Ini ditandai dari keberangkatan M. Arsjad Th. Lubis (Tuan Arsjad) yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris I Al Washliyah ke Meulaboh, Aceh Barat. Ia berangkat ke daerah ini demi memenuhi permintaan kaum Muslim di sana yang memerlukan seorang guru agama yang mumpuni. Dalam catatan riwayat hidup Tuan Arsjad disebutkan bahwa ia menjadi guru di Madrasah Al Washliyah di Meulaboh sejak tahun 1931 sampai tahun 1932. Ini juga menunjukkan bahwa Al Washliyah sudah memiliki sebuah madrasah di Meulaboh.
Chalidjah Hasanuddin (1988) memberikan informasi penting bahwa selama di Meulaboh, Tuan Arsjad juga membentuk cabang Al Washliyah. Tetapi, menurut Hasanuddin, pada saat itu, cabang Al Washliyah yang dibentuk ini hampir tidak pernah berhubungan dengan pengurus Al Washliyah di Medan akibat komunikasi yang kurang lancar. Tuan Arsjad juga hanya setahun berdomisili di Meulaboh, dan kemudian kembali ke Medan. Meskipun Tuan Arsjad kembali ke Medan, Al Washliyah ternyata tetap berkembang di Aceh Barat, bahkan lebih berkembang ketimbang di Aceh Timur dan Aceh Tengah, setidaknya sampai awal era kemerdekaan.
Pada periode berikutnya, pengurus Al Washliyah terus menjajaki kemungkinan pembentukan cabang dan ranting Al Washliyah di Aceh secara permanen. Catatan H. Abdurrahman Sjihab (w. 1955), figur terpenting Al Washliyah sampai awal kemerdekaan Indonesia, menyebutkan bahwa pengurus Al Washliyah sejak tahun 1934 mulai memperluas pengaruh organisasi ke luar Sumatera Timur, yakni ke Tapanuli dan Aceh. Ini, menurutnya, karena banyak permintaan orang-orang dari luar Sumatera Timur, termasuk Aceh, agar Al Washliyah juga memiliki pengurus di daerah tempat mereka berdomisili. Ini karena mereka sepakat dengan, dan bahkan mendukung, cita-cita yang ditawarkan oleh Al Washliyah sebagai organisasi yang hendak “memajukan, mementingkan dan menambah tersiarnya agama Islam.”
Dalam konteks Langsa (saat itu masih bagian dari Aceh Timur), sejak tahun 1926, beberapa tokoh Muslim di Langsa membangun sebuah organisasi Islam yang bernama Siradjuddin. Dari sisi paham keagamaan, sama seperti Al Washliyah, organisasi ini berafiliasi dengan mazhab Syâfi‘i dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Organisasi ini juga mengelola beberapa madrasah. Pada tahun 1934, Abdurrahman Sjihab, Udin Sjamsuddin, H.A. Kadir dan M. Arsjad Th. Lubis sengaja mengunjungi Langsa untuk bersilaturahmi dengan pengurus organisasi Siradjuddin. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk memberikan penjelasan tentang dasar dan tujuan Al Washliyah serta perkembangan Al Washliyah yang semakin pesat.
Tertarik dengan ulasan pengurus teras Al Washliyah, dan mengingat kesamaan ideologi kedua organisasi serta pengaruh Al Washliyah yang semakin meluas, akhirnya pengurus Siradjuddin memutuskan bahwa organisasi Siradjuddin dan seluruh madrasah-madrasahnya bergabung dengan Al Washliyah. Tetapi, para pengurus Siradjuddin di Langsa yang baru bergabung ini tampaknya belum secara otomatis menjadi pengurus Al Washliyah tingkat Cabang karena berdasarkan informasi yang dimuat dalam majalah Medan Islam Nomor 27 Januari 1936 disebutkan bahwa sampai tahun 1935 Al Washliyah baru memiliki 16 Cabang dan 13 Ranting yang masih tersebar di kawasan Sumatera Timur dan Tapanuli. Artinya, Al Washliyah belum memiliki pengurus tingkat Cabang dan Ranting di Aceh, meskipun sudah memiliki sejumlah pengikut fanatik di sana.
Al Washliyah secara resmi memiliki pengurus cabang di Aceh pasca pengurus Al Washliyah di Medan mengesahkan struktur pengurus Al Washliyah Cabang Langsa pada tanggal 10 Oktober 1937. Para pengurus yang disahkan adalah Teuku Radja M. Alie (Pelindung), M. Arifin (Ketua I), Hasan (Ketua II), Oedin M.S. (Penulis I), Muhammad (Penulis II), M. Ganie (Bendahara), Aloeddin dan Maradjat (Penasihat), dan Kadli Binu (Penasihat agama). Beberapa tokoh juga ditunjuk sebagai anggota pengurus yakni Akim, M. Nur, Abd. Djalal, Abd. Rahman, S. Hasan Basri, M. Rasad, Dohar dan Abdullah B.
Setahun kemudian, tepatnya 3 Maret 1938, pengurus Al Washliyah di Medan juga mengesahkan pengurus Al Washliyah Cabang Idi. Acara peresmian ini dihadiri oleh pengurus teras Al Washliyah dari Medan yakni Abdurrahman Sjihab, H.A. Kadir dan Udin Sjamsuddin. Pengurus yang disahkan adalah Tgk. Abd. Aziz (Ketua I), M. Jusuf Nasution (Ketua II), Abu Bakar (Penulis I), M. Nazir (Penulis II), dan Amiruddin (Bendahara). Beberapa tokoh diangkat sebagai penasihat yakni Ahmad Nur, Mas Sukiman, Tgk. Kadi Hasjim, dan H. Abd. Madjid; dan sebagai anggota, yakni M. Nazir, Tgk. Ismail, M. Ali, M. Said, Djamian, A. Razak, Samidun dan Isma’il.
Pasca kemerdekaan, H. Abdurrahman Sjihab mengunjungi berbagai daerah penting di Aceh. Saat itu, selain menjalankan tugas sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sumatera Utara, ia juga menemui para ulama Aceh termasuk Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan memperkuat organisasi Al Washliyah dan Partai Masjumi di Aceh. Saat itu, ia merupakan Ketua Pengurus Besar Al Washliyah. Pada tanggal 28 November 1948, ia berangkat ke Tapaktuan (Aceh) dari Sibolga (Sumatera Utara). Pada tanggal 14 Desember 1948, ia kemudian mengunjungi pengurus dan konstituen Al Washliyah di Aceh Barat. Saat itu, ia disambut dalam sebuah upacara yang menggugah dan kemudian menjadi pembicara dalam beberapa acara tabligh akbar yang diadakan oleh warga Al Washliyah di sana.
Esok harinya, 15 Desember 1948, ia mengunjungi madrasah Al Washliyah di Meulaboh. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Al Washliyah sudah memiliki pengurus yang mapan termasuk madrasah di Aceh Barat. Selama di Aceh, Abdurrahman Sjihab juga mengunjungi beberapa daerah di antaranya Sigli, Teupin Raya, Mereudu, Samalanga, Bireuen, Matang Gelumpang Dua, Lhokseumawe, Samudera, Lhoksukon, Idi, Peureulak, Langsa, Kuala Simpang, Blangkejeren, Takengon, dan Tangse. Kehadiran Abdurrahman Sjihab sebagai ulama dan politisi tentu memberikan dampak bagi penguatan Al Washliyah di Aceh.
Sebelum era kemerdekaan, Al Washliyah sudah memiliki pengurus di beberapa daerah di Aceh. Ini terlihat dari Keputusan Kongres Al Washliyah ke-IV yang diadakan pada tanggal 15-17 Juli 1944 di Binjai, di antaranya mengadakan pemimpin daerah Al Washliyah di Aceh Timur dan Aceh Barat. Batara Pulungan ditunjuk sebagai pemimpin Al Washliyah di Aceh Timur, sedangkan Kari Sulaiman sebagai pemimpin Al Washliyah di Aceh Barat. Kedua tokoh ini juga kembali mendapatkan amanah serupa dalam Kongres Al Washliyah ke-V yang diadakan di Pematang Siantar pada tanggal 30 November-6 Desember 1945.
Saat pelaksanaan Kongres Al Washliyah ke-VII di Medan pada tanggal 11-14 April 1950, pengurus cabang/ranting/madrasah Al Washliyah dari Aceh juga hadir sebagai peserta kongres. Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan penting, termasuk pemimpin-pemimpin Al Washliyah di tingkat kabupaten, di antaranya Kari Sulaiman sebagai pemimpin Al Washliyah di Aceh Barat, Imran Djalil untuk pemimpin Al Washliyah di Aceh Timur, dan Abd. Rahman Arsjad untuk pemimpin Al Washliyah di Aceh Tengah.
Sampai Kongres Al Washliyah ke-X, 10-14 April 1956, Al Washliyah sudah cukup berkembang di Aceh Timur, Aceh Barat dan Aceh Tengah. Di Aceh Timur, Al Washliyah memiliki pengurus di Langsa, Kuala Simpang dan Idi. Di Aceh Tengah, Al Washliyah memiliki pengurus di Kotacane. Di Aceh Barat, Al Washliyah memiliki pengurus yang tersebar di 35 tempat. Al Washliyah di Aceh Barat pada era 1950-an ternyata lebih berkembang ketimbang di Aceh Timur dan Aceh Tengah. Data organisasi tahun 1951 menunjukkan bahwa Al Washliyah Aceh sudah memiliki sembilan unit Madrasah Tajhiziyah dan sembilan unit Madrasah Ibtidaiyah. Al Washliyah juga sudah memiliki pengurus di Sabang pada tahun 1953. Ahmad Marzuki, yang pernah menjadi anggota PB Al Washliyah dan kemudian bertugas sebagai pimpinan pelabuhan Sabang, merupakan tokoh yang membentuk struktur pengurus Al Washliyah di Sabang. Pada tahun 1954, M. Arsjad Th. Lubis mengunjungi Sabang untuk secara khusus meninjau perkembangan Al Washliyah di sana.
Sampai era tahun 1950-an awal, organisasi bagian Al Washliyah juga sudah memiliki pengurus di Aceh. Pada tahun 1951, Puteri Al Washliyah (Muslimat Al Washliyah) sudah memiliki 2 Pengurus Cabang (Langsa dan Meulaboh) dan 10 Pengurus Ranting di Aceh. Pada era berikutnya, Puteri Al Washliyah memiliki pengurus di Kutacane dan Sabang. Adalah Zahara Dar, pengurus teras Pucuk Pimpinan Puteri Al Washliyah, mengemban amanah untuk mengembangkan organisasi ini secara khusus di Sabang sejak tahun 1955. Kemudian, Angkatan Puteri Al Washliyah (APA) sudah memiliki pengurus tingkat daerah yakni di Aceh Timur dan Aceh Barat. Ikatan Pelajar Al Washliyah (IPA) Putera sudah memiliki cabang di Kotacane. Sedangkan Pemuda Al Washliyah atau Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) sudah memiliki pengurus di Meulaboh dan Langsa. Ini menunjukkan bahwa Al Washliyah juga turut mendirikan dan mengembangkan organisasi bagiannya di wilayah Aceh.
Kajian di atas telah menunjukkan bahwa Al Washliyah sudah memasuki kawasan Aceh jauh sebelum Indonesia merdeka. Memang, literatur-literatur Kealwashliyahan tidak memuat informasi yang cukup detail mengenai Al Washliyah di Aceh. Tentunya, perlu riset mendalam mengenai pertumbuhan dan perkembangan organisasi ini sejak era kolonial sampai era terkini. Artikel ini juga belum sepenuhnya memuat dan menganalisis data yang ada mengenai Al Washliyah di Aceh berdasarkan sumber-sumber terbitan organisasi mengingat keterbatasan ruang yang dimiliki.
Yang terpenting juga, kajian literatur yang sudah dilakukan secara terbatas ini perlu dikembangkan lebih lanjut terutama dengan mengadakan penelitian lapangan agar bisa ditampilkan secara komprehensif mengenai potret Al Washliyah di Aceh yang ternyata sudah memiliki pengikut setia sejak paruh pertama tahun 1931. Di sini, para dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi Al Washliyah di Aceh perlu mengadakan penelitian secara spesifik dan mendalam tentang sejarah dan gerakan Al Washliyah di Aceh sejak era penjajahan sampai saat ini.
Terakhir, hasil pengamatan saya sejauh ini menunjukkan bahwa Al Washliyah sampai saat ini masih memiliki madrasah dan sekolah yang tersebar di beberapa daerah penting di Aceh, yakni Aceh Tamiang, Langsa, Lhokseumawe, Takengon dan Banda Aceh. Tentu ini merupakan warisan tak ternilai yang telah ditinggalkan oleh para pengurus Al Washliyah di Aceh sejak dahulu sampai saat ini yang harus terus dirawat dan ditingkatkan mutunya di masa mendatang. Nashrun minallâh wa fathun qarîb, wabasysyiril mu’minîn.
Dr. Ja’far, M.A.
• Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, Aceh.
• Ketua Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Periode 2021-2026.