TIDAK banyak hasil studi yang mengungkap bahwa asosiasi atau perkumpulan keagamaan seperti Al Washliyah dan Muhammadiyah, merepresentasikan ekspresi kepentingan dan identitas kelompok kesukuan kaum migran Mandailing dan Minangkabau pada konteks migrasi di kota Medan.
Tentu analisis kritis semacam ini terasa ‘asing’ jika dibandingkan dengan sudut pandang kebanyakan dalam memposisikan bahwa praktik atau tindakan manusia sebagai aktor, individu maupun kelompok, selalu dilihat dalam situasi dan bergerak atas motivasi serta aturan-aturan yang dianggap resmi.
Fakta dalam studi Usman Pelly (1994) dalam bukunya “Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing” yang diterbitkan LP3ES Jakarta menunjukkan aspek praktis pemakaian dari relasi-relasi sosial asosiasi keagamaan yang dikembangkan melalui kasus Al Washliyah dan Muhammadiyah pada kasus di Kota Medan.
Menariknya, studi Pelly menunjukkan bagaimana aktivitas keagamaan komunitas-komunitasn kesukuan migran Mandailing dengan dukungan penguasa Melayu-Islam akhirnya melahirkan gerakan sosial keagamaan Al Washliyah seiring dengan tumbuhnya populasi perantau tersebut. Studi Pelly ini menyajikan sudut pandang bagaimana eksistensi asosiasi keagamaan ternyata bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari latar sosial yang mengitarinya.
Sejarah perkembangan Al Washliyah memperlihatkan bagaimana permasalahan aturan-aturan formal dan peribadatan ternyata saling kait dengan isu-isu praktik penghidupan yang seolah-olah tidak memiliki hubungan satu sama lain. Asosiasi keagamaan ini tidak hanya menggambarkan sebuah corak mazhab keberagamaan, tetapi menjadi strategi penghidupan yaitu isu kaum migran memperoleh akses terhadap sumber daya pada konteks masyarakat yang berkembang ke arah perkotaan yang kompleks.
Corak perkembangan perkumpulan keagamaan, sesuai dengan konteks masa permulaannya, tidak hanya dipakai sebagai mekanisme adaptasi tetapi menjadi strategi penguatan identitas pendatang Mandailing terhadap ruang sosial yang berubah.
Salah satu wujud dari strategi penghidupan yang diwujudkan melalui asosiasi keagamaan Al Washliyah, tampak pada praktik sosial keagamaan melalui adaptasi paham keagamaan dalam ruang penguasaan Melayu sebagai kekuatan politis dominan. Orang-orang Mandailing memerlukan dukungan politis dan jaminan ekonomi dan sebaliknya kekuasaan Kesultanan-Kesultanan Melayu memerlukan sokongan untuk mempertahankan posisi dominan mereka.
Praktik sosial keagamaan pun tidak hanya berkutat pada persoalan ritual ibadah tetapi berkembang ke arah isu-isu penghidupan yang lebih pragmatis, politis dan kultural dalam ruang sosial yang ganti berganti secara terus menerus, Melayu, Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan Indonesia.
Meskipun uraian studi Pelly tentang corak awal perkembangan asosiasi keagamaan cukup menarik ketika dihubungankan dengan konteks sosialnya, tampaknya studi Pelly sangat menekankan faktor determinan yang ia sebut sebagai “misi budaya’ dan tekanan sosiodemografis, di mana misi budaya ini sangat menentukan afiliasi asosiasi sosial keagamaan kedua kelompok migran tersebut.
Pembacaan lain atas data memperlihatkan bahwa strategi yang dikembangkan menunjukkan bahwa Al Washliyah merupakan aktor sosial yang secara sadar merancang tindakannya, di mana strategi ini dinamis dan terus berkembang hingga saat ini.
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan dan praktik aktor tidaklah sepenuhnya dibentuk oleh struktur sosial namun secara aktif aktor juga menentukan pilihan-pilihan dengan kesadaran terhadap struktur sosial yang mengelilinginya tersebut. Sehingga isu tekanan kuatnya Melayu sebagai tuan rumah tidak selamanya menunjukkan fakta yang relevan.
Tentu isu-isu penghidupan lain terus berkembang dan Al Washliyah secara terus menerus merespons persoalan tersebut dan tidak semuanya tindakan atau praktik yang dikembangkan asosiasi keagamaan ini senantiasa dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis politis-ekonomis semata, tetapi fakta lain menunjukkan sebagian dari praktik berkembang atas motivasi agama, kemasyarakatan dan nasionalisme keIndonesiaan. Nashrun minallâh wa fathun qarîb, wabasysyiril mu’minîn.
Dr. Sakti Ritonga, M.Pd.
- * Dosen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
- * Wakil Ketua Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Periode 2021-2026