HARI ini tiba-tiba saja kangen pada pertunjukan lenong, topeng Betawi, samrah; kesenian-kesenian Betawi yang saya tak tahu dimana lagi bisa saya lihat pertunjukannya. Ada di beberapa titik venue, misalnya di Setu Babakan, di pinggiran selatan Jakarta, namun itu pun tidak menampilkan kesenian Betawi secara intens, hanya sesekali saja. Rasanya suara gambang kromong makin lama makin tergerus oleh suara bising musik dari barat dan Korea.
Saat ini kita melihat ancaman terhadap eksistensi budaya kita datang dari berbagai penjuru, utamanya adalah dari media, media konvensional maupun digital (modern). Media konvesional seperti radio dan media cetak sangat kuat menginfiltrasi pikiran masyarakat kita, lewat tawaran-tawaran nilai baru yang dianggap modern namun seringkali bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita. Begitu banyak orang bergerak ke arah apa yang disebut sebagai “kemajuan” atau “modernitas”, padahal sesungguhnya mereka sedang menaiki titian dimana kehampaan nilai dan etika yang tersaji. Maka berubahlah pola pikir dan cara hidup masyarakat kita.
Infiltrasi lewat media digital atau internet malah lebih masif lagi. Ia bahkan mampu memasuki ruang dan waktu setiap orang secara jauh lebih pribadi lagi, bahkan
hampir tanpa batas. Penerobosan itu juga bahkan memasuki semua kalangan dari berbagai strata sosial dan umur. Maka bagi kalangan yang tingkat pendidikannya kurang
memadai, juga anak-anak, menjadi komunitas yang amat rentan. Nilai-nilai baru yang mereka dapatkan, langsung saja ditelan, tanpa ada filter lagi. Pada situasi seperti itu, maka tak aneh jika banyak yang memaksakan diri tampil secara barat, meski kelihatan amat sangat norak, misalnya. Atau anak-anak yang kehilangan rasa hormat terhadap yang lebih tua.
Saat ini terasa sekali betapa nilai-nilai budaya kita mulai tergerus oleh nilai-nilai baru yang tak jelas, yang lebih mementingkan kemasan tanpa pertimbangan etika di
dalam isinya.
Ibarat makanan kaleng yang bagus kemasannya namun isinya dihiasi belatung. Hal-hal yang melawan etika, adat istiadat, bahkan agama, dengan mudahnya menjadi viral. Teorinya, hal-hal yang kontroversial adalah pintu masuk ke arah viral. Maka berlomba-lombalah semua orang, dari berbagai kalangan dan umur untuk berusaha menjadi viral.
Penguatan budaya seharusnya dijalankan di rumah dan di wilayah-wilayah pendidikan (sekolah dan kampus), termasuk di komunitas-komunitas dimana orang-orang menghabiskan sebahagian waktunya. Kita mungkin sulit berharap akan ada prinsip penguatan budaya di dalam sistem kurikulum pendidikan kita, lantaran masih agak lemahnya sistem yang ada.
Maka solusinya adalah menciptakan kegiatan ekstra kurikuler yang bermuatan budaya lokal. Local content yang diberikan secara berkala dan cair diharapkan akan menciptakan sebuah masyarakat yang memiliki tata nilai yang lebih Indonesia, yang mampu menjadi pertahanan kuat di dalam menghadang sistem budaya luar yang berlawanan dengan budaya lokal.
Kita menginginkan sebuah negeri yang aman, nyaman dan damai; secara sosial dan politik. Hal itu akan bisa tercapai jika masyarakat berjalan di track yang benar, yaitu
pada sistem budaya lokal yang telah ada selama berabad-abad umur bangsa ini.
Ah, begitu kangennya saya melihat pertunjukan gambang kromong yang memainkan lagu “Sirih Kuning”, lalu beberapa penonton maju ke depan panggung dan ngibing di sana. Atau saya putar saja ya rekaman gambang kromong, lalu saya ngibing sendirian di rumah, buat mengobati kangen. Tapi…janganlah, nanti malah urusannya panjang sama orang rumah…..
Tetap berbudaya, tetap Indonesia.
Muhamad Zarkasih
- Ketua Sako Pramuka Al Washliyah PB Al Washliyah
- Pemerhati Masalah Sosial dan Masyarakat.