“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. (9) At-Taubah: 18).
MASJID secara etimoligis berarti tempat sujud. Sujud tidak selalu harus dipahami dalam konteks ibadah salat saja.
Jika kita tinjau sejarah Islam semasa hidupnya Nabi Muhammad SAW, masjid didirikan bukan hanya sebagai tempat untuk melaksanakan salat berjamaah.
Tetapi di masjid itulah berlangsungnya internalisasi nilai-nilai keislaman dalam proses hubungan timbal balik dengan kehidupan di luar masjid.
Almarhum A.R. Sutan Mansur, mengatakan, “ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan dalam kehidupan umat Islam, yaitu prinsip minal masjidilal iqtishad (dari masjid ke ekonomi), minal masjid ilas siyasah (dari masjid ke politik), dan minal masjid ilat tazwij (dari masjid ke masyarakat).”
Lebih lanjut A.R. Sutan Mansur menjelaskan, “Jika kita bergerak dalam lapangan ekonomi, politik, dan kemasyarakatan, kita sujudkan semuanya itu dalam masjid, artinya ditempatkan hidayah Allah di dalamnya.” (A.R. Sutan Mansur, Jihad, 1982).
Kita sering terpukul oleh suatu realitas sejarah, bahwa setiap agama bergerak dari suatu masa di mana pemeluk agama itu menghayati dan mempraktekkan agamanya itu.
Dalam arti yang sebenarnya ke suatu masa di mana orang orang yang mengambil agamanya secara dangkal dan hanya mementingkan simbolisme.
Menurut data statistik, 85 persen penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Jika diukur dari kesemarakan syiar agama selama ini rasanya tidak ada tempat bagi berkembangnya prilaku dan perbuatan jahiliyah di dalam kehidupan bangsa dan negara kita yang mengabaikan krisis multidimensi.
Prilaku sebagai umat Islam yang tidak konsisten dalam beragama disindir dengan tajam oleh Dr. Jalaluddin Rahmat: “Kita besarkan Allah di masjid, tetapi di luar masjid kita agungkan kekayaan, kekuasaan dan kedudukan.
Di atas tikar salat, di masjid, di musolla, di tempat-tempat ibadah, kita gemakan takbir. Di kantor, di pasar, di tengah-tengah masyarakat, kita lupakan Allah.
Ketika kita duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah. Jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan memperkaya diri.
Ketika kita bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika menjalankan bisnis, seakan-akan Allah tidak pernah hadir dalam hati kita.
Kita lakukan cara apa pun, tanpa peduli halal dan haram, tanpa memperhatikan apakah tindakan kita menghancurkan hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang. Di masjid kita bertakbir, tetapi di tengah-tengah masyarakat kita bertakabbur âĤ..” (Dikutip dari buku Renungan-Renungan Sufistik, Jalaluddin Rakmat, 1999, hal 217-218).
Untuk meraih kehidupan yang diridhai Allah, umat Islam harus memfungsikan masjid sebagai sarana untuk memperteguh iman dan mengasah spritualitas.
Masjid bukan hanya untuk didatangi, tetapi untuk dihidupkan dalam hati dan perbuatan. Jangan kita terjebak oleh simbolisme agama, berlomba-lomba membangun rumah ibadah yang megah dan mewah, tapi lupa kepada nilai agama yang sejati.
Nabi Muhammad SAW memperingatkan, “Suatu masa nanti masjid-masjid penuh sesak oleh manusia, tapi kosong dari hidayah Allah. Di mana Al Quran hanya berupa catatan saja, dan Islam hanya tinggal nama saja.”
Wallahu A’lam Bishshawab.
Wassalam.
Aswan Nasution
â˘Penulis Alumni 79′ Al Qismul ‘Aly, Al Washliyah, Isma’iliyah, Medan, Sumatera Utara.
â˘Anggota Pengurus Wilayah Al Washliyah Prov. Jawa Barat, Priode 1986-1989.
â˘Pengurus Wilayah Al Washliyah Prov. Nusa Tenggara Barat (NTB) Priode 2019-2024.