DKI Jakarta

pbwashliyah@gmail.com

IndonesianArabicThaiEnglishChinese (Simplified)

Pandemi dan Dilema PPKM

TELAH lebih dari 16 bulan wabah covid-19 menyerang seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Wabah yang awalnya datang dari Wuhan, China, itu lalu menyebar dengan sangat masif ke seluruh penjuru dunia. Maka dunia pun seolah digempur oleh sebuah kekuatan besar yang tak mampu dihadapi. Banyak korban berjatuhan, bahkan hingga meninggal dunia.

Efek dari munculnya wabah Covid-19 salah satunya adalah penerapan pembatasan atas aktivitas semua orang, semata untuk mencegah penularan atau penyebaran yang lebih luas lagi dari wabah itu. Ini melahirkan dilema tersendiri. Ada beberapa pola, dari mulai lockdown, hingga yang masih memiliki kelonggaran seperti PSBB dan PPKM.

Pola-pola pembatasan itu dianggap berhasil menurunkan tingkat kenaikan penderita baru, sehingga angka penderita atau yang meninggal pun menjadi menurun. Namun tak urung “keberhasilan” itu memiliki dampak lain, terutama yang bersifat sosial dan ekonomi.

Tidak seperti negara-negara seperti di Eropa, Indonesia tidak menerapkan sistem lockdown yang menutup secara total pintu masuk dan keluar negara, di samping pembatasan yang amat sangat ketat di dalam negeri. Yang digunakan di Indonesia adalah sistem atau pola PSBB dan PPKM, yang lebih longgar dan kompromistis dibanding pola lockdown. Meski demikian, rakyat merasakan juga efek sosial dan ekonomi akibat dari penerapan kedua pola itu.

Sejak PSBB hingga sekarang PPKM, banyak yang sudah berteriak protes karena kerugian (terutama ekonomi) yang dialami masyarakat. Masyarakat amat sangat kaget karena sebelumnya tak pernah membayangkan akan mengalami penurunan yang sedemikian besar di bidang ekonomi dan bisnis, terutama di sektor informal.

Para pengusaha, terutama level kecil dan menengah, menjerit karena penurunan drastis dari omset bisnis mereka. Walau pun sebenarnya para pengusaha di level atas juga mengalami hal yang serupa, misalnya pemilik pusat perbelanjaan atau para tenantnya. Tetapi protes paling kuat tetap saja berasal dari kalangan bawah, yang secara usaha berhubungan langsung dengan aktivitas masyarakat.

Secara sosial, PPKM memberikan dampak yang tak kurang besarnya, terutama menyangkut di soal pengumpulan atau kerumunan massa. Aktivitas-aktivitas yang berwujud pengumpulan massa dilarang, hingga memberikan “rasa sakit” yang bersifat sosial. Itu bahkan bisa menyamai atau melampaui rasa sakit secara ekonomi.

Contohnya, larangan kegiatan hajatan atau pesta dan kegiatan agama. Padahal, kegiatan-kegiatan itu juga merupakan bagian dari bentuk sosial budaya kita, yaitu guyub. Tiba-tiba saja PPKM harus membuat setiap orang “menjauhi” orang lain. Itulah yang paling terasa. Maka protes pun lagi-lagi bermunculan.

Protes-protes kepada Pemerintah itu harus dianggap sebagai hal yang wajar. Rasanya Pemerintah juga sudah mengantisipasi hal tersebut. Sebab memang konsekUensi logis dari penerapan aturan yang memiliki efek negatif akan selalu melahirkan rasa ketidak-adilan. Terlepas dari seberapa besar efek positif dari kebijakan tersebut, tetap saja efek positifnya yang paling terasa dan diteriakkan.

Entah, protes itu merupakan bentuk respon dari gagalnya pemerintah memberikan sosialisasi tentang PPKM atau justru secara total adalah bentuk penolakan saja. Tapi protes itu telah hadir dan mengalir dengan sangat deras.

Bentuk ketidak-puasan itu masih bisa dianggap wajar jika tetap bermain di wilayah kebijakan, tapi reportnya sudah keluar dari sana, misalnya dengan pengguliran wacana penurunan presiden. Mungkin benar adanya bahwa penanggung jawab tertinggi dari sebuah keputusan pemerintah adalah presiden, namun rasanya tak bergaris lurus dengan wacana penggantian presiden.

Musuh bersama bangsa ini adalah wabah covid-19, lalu siapa bisa menjamin penggantian presiden akan membuat wabah itu hilang? Jika ada peraturan yang keliru, maka peraturan itulah yang harus dikoreksi, bukan menyeretnya ke wilayah politik. Bisa saja seorang presiden dijatuhkan, namun rasanya itu lebih di persoalan politik.

Jika kemudian ada pakar hukum ketata-negaraan yang menyatakan bahwa presiden bisa dimakzulkan karena penerapan pola penanganan wabah covid-19 yang salah, mungkin bisa saja itu benar adanya. Tetapi kita kembali ke masalah awal, yaitu prioritas: melawan wabah covid-19 atau melawan sistem pemerintahan?

Wabah Penyakit bukanlah baru saat ini terjadi. Dalam perjalanan bangsa ini saja telah ada banyak wabah penyakit pernah menyerang, seperti kusta/lepra, demam berdarah, flu burung dan sebagainya. Wabah penyakit (baik lama atau jenis baru) tentu punya kemungkinan akan hadir di dalam sebuah tata kehidupan yang sangat terbuka. Bahkan di masa lalu, pada ratusan tahun lalu, hal tersebut pernah terjadi dan menyerang siapa pun. Artinya, berpotensi menyerang manusia dari kalangan mana pun. Bahkan seorang Nabi pun pernah menjadi korban sebuah wabah penyakit.

Nabi Ayub satu saat diberikan oleh Allah SWT satu ujian, yaitu terserang wabah lepra. Dalam surat Al-anbiya ayat 83 Allah SWT berfirman tentang hal tersebut, “Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia berdoa pada Tuhannya, “(Ya Tuhanku) sungguh aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” Dari ayat Al-Quran itu bisa diambil dua hal. Pertama, Allah tidak memandang siapa pun untuk memberikan sakit, kedua, semua penyakit datang dari Allah, sebagai bentuk ujian. Allah akan memberikan ujian kepada setiap hamba-Nya, dalam konteks keimanan dan ketakwaan.

Lalu bagaimana melihat wabah covid-19 dari perspektif agama? Kita tengok saja saat Rasulullah Muhammad menerapkan sistem kekarantinaan ketika datang satu wabah penyakit atau tha’un. Rasulullah bersabda, “Jika kalian mendengar tha’un melanda di satu daerah, maka jangan masuk ke daerah itu. Apabila kalian di daerah
tersebut, jangan lari dari tha’un.”

Sekali lagi, ketidak-puasan adalah hak setiap orang atau warganegara. Sama seperti halnya juga setiap orang boleh mendukung negara tanpa protes apa pun. Setiap rakyat adalah pemilik sah republik ini, setiap rakyat juga berhak mengekspresikan suara hatinya. Yang tidak boleh hilang adalah logika dan akal sehat. Sebab, jika kita lihat Ayat Al-Quran dan Hadist Rasulullah di atas, maka yang tampak adalah logika dan akal sehat itu.

Muhamad Zarkasih

Ketua Sako Pramuka Al Washliyah PB Al Washliyah

lihat lebih banyak lagi

Muhammad Fawazul Alwi Resmi Dikukuhkan Sebagai Ketua GPA Aceh Barat 2024-2028

ACEH BARAT - Muhammad Fawazul Alwi resmi dikukuhkan sebagai Ketua Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) Aceh Barat periode 2024-2028 dalam sebuah acara pelantikan yang...

Tabligh Akbar di UNIVA Labuhan Batu, UAS: Tarik Tabungan Dari Bank Konvensional & Alihkan ke Bank Washliyah

RANTAU PRAPAT - Ustad kondang, Prof.Dr.H.Abdul Somad, Lc,D.E.S.A, Ph.D, atau yang lebih dikenal dengan sapaan Ustaz Abdul Somad (UAS) mengajak warga Washliyah untuk menunaikan...

Upacara Peringatan Detik-Detik Lahirnya Al Washliyah ke-94 di SMP Al Washliyah Kayumanis Berlangsung Khidmat

JAKARTA – Memperingati Hari Lahir Al Jam’iyatul Washliyah (Al Washliyah) yang ke-94 tahun, SMP Al Washliyah Kayumanis, Jakarta Timur, menggelar upacara yang berlangsung khidmat...

Puncak HUT ke-94 PW Al Washliyah Aceh: Zikir, Seminar Nasional dan Peletakan Batu Pertama Lembaga Pendidikan di Aceh Barat

ACEH BARAT -Pengurus Wilayah (PW) Al Washliyah Aceh menggelar puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-94 dengan serangkaian kegiatan bermakna, termasuk zikir bersama, seminar...